Lumpy Space Princess - Adventure Time

Sabtu, 04 Mei 2013

GADIS KECIL DI TEPI GAZA

Posted by Unknown at 03.38


SURAT DARI GADIS KECIL DI GAZA

Allah, di manakah ibuku?
Duri-duri pasir mengubur semua kehidupan
Allah, dimanakah ayahku?
Hamparan pasir nan luas, seolah menutup mata

Allah, di manakah aku harus berdiam?
Ditutup sebuah benteng yang kokoh,
Menahan rasa lapar dan lilitan perut,
Berapa sisa umurku?

Sendiri dalam sepi,
Allah, ingin kuberlari mengejar matahari,
Dengan langkah kaki dan gapai angkasa,
Langkahku terhenti di depan genangan air keruh,
Kupandangi wajah lesuku dari cerminan air tenang,
Mengikis semua kerut-kerut kehidupan

Allah…. Allah…...Allah
Masihkah ada tempat bagiku,
Gadis palestina di dunia ini?
Jika ada, di mana?
Mengapa tanahku telah hancur?
Mengapa? Mengapa harus Palestina?
Allah…






GADIS KECIL DI TEPI GAZA

Palestine. Ayahku yang pemberani Khalid, memberiku nama demikian. Tak pernah terbesit rasa takut akan nasibnya dan nasibku kelak. Ia tak peduli, yang ia peduli hanyalah tanah kelahirannya, Palestina.
Sosok Palestine memandangi selembar foto keluarganya yang sempat ia selamatkan. Sesaat gadis kecil itu berdiri diam terpaku, menatap tiga sosok manusia jatuh telungkup dan terpendam pasir serta bebatuan dari bangunan rumah yang disinggahinya. Tepat di kota Gaza, malam hari. Pada akhir tahun 2008, beberapa kota tiba-tiba dihancurkan oleh bom-bom dan rudal yang membabi buta dari Negara seberang, ISRAEL.
Suara sirine ambulans pun saling beriringan keluar masuk are Gaza malam hari itu. Benar-benar terlihat kacau dan dalam keadaan genting. Sementara sesosok gadis kecil berusia sebelas tahun yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi, tengah terluka di bagian kepala dan lututnya itu meringis kesakitan. “Ibu, Ahmed, Zaynab, huhuhu” Palestine menengadahkan kepala ke atas, tepat pada langit-langit rumah yang tengahnya telah berlubang. Lubang yang besar dan reruntuhan itu mengenai tubuh ibunya dan dua saudaranya yang lain.
Palestine jatuh terduduk, sebuah tangan menembus dari balik reruntuhan, dan Palestine tahu benar siapa pemilik tangan yang menyembul keluar dari dalam reruntuhan itu. Sebuah cincin yang selalu melekat di jari manis seorang wanita yang sangat dikagumi dan dihormatinya. Tangan halus yang terbalut dengan balutan pasir, seolah menunjukkan sebuah tanda bahwa ibunya berada di sana. Gemetar tubuh Palestine saat menemukan posisi jasad ibundanya yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Suara sirine berhenti tepat di depan rumah. Terdengar suara langkah kaki petugas bersepatu bot masuk ke dalam dan mencari korban ledakan bom. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya erat-erat, takut kalau yang dating itu bersamaan dengan para tentara Israel yang hendak membunuhnya. Suara langkah itu semakin mendekat dan mendekat. Tubuh anak kecil itu gemetar. Sosok lelaki itu membungkuk kea rag gadis itu dan menyentuh kepalanya, “Gadis kecil, aku akan membawa ke pengungsian.”




The Gaza’s Hospital, malam hari.
            Suara dentuman bom dan rudal diwarnai dengan semburan api yang menghiasi langit Gaza malam itu, menjadi sebuah sejarah tak terlupa. Terbesit saat gadis kecil itu melihat jenazah ibunya yang baru saja ditutup selembar kain putih, juga tubuh kedua saudaranya. Menembus sebercak darah merah segar yang belum mongering itu pada kain putih. Palestine jatuh terduduk tidak akan menangis sepilu orang lalu lalang itu. Sebab, ayahnya sering berkata kepada dirinya. “Palestine, jika suatu hari nanti kau saksikan anggota keluargamu mati di hadapanmu, janganlah pernah sampai menangis sampai suaramu terdengar orang lain. Janganlah kamu ratapi kematian keluargamu. Sebab jika begitu, artinya kau tidak bisa menerima kuasa Allah atas taqdir yang telah diberikan kepada kita. Palestine… kau harus bisa jadi gadis yang berbeda, gadis Palestina yang kuat dan tidak lemah.”
Kedua tangan kecilnya pun ditengadahkan ke atas seraya berdoa dalam kebisingan itu. “Yaa Allah, berikanlah mereka ketenangan di sisiMu, aamiin.”
Ketabahan Palestine itu mengundang seorang pemuda yang kala itu juga baru saja kehilangan ayah dan ibunya.
“Assalamu’alaikum” sapa pemuda itu sambil meringis kesakitan menahan sakit di tangan dan lutut.
“Wa’alaikumsalam.”
“Dimana Ayahmu?”
“tidak tahu”
“Kenapa kau sama sekali tidak terlihat sedih melihat keluargamu tewas di tangan mereka? Apa kau benar berdarah Palestine? Atau, jangan-jangan kau berdarah Israel. Tak punya perasaan. Tuduhnya pada Palestine.
Palestine menjawab, “untuk apa aku harus bersedih seperti kamu dan mereka? Jika aku sendiri pun tidak tahu apakah esok masih bisa hidup. Bahkan, jika aku mati esok pun, ibu dan dua saudaraku ini tak bias menangisiku. Seseorang, jika sudah berada di ujung tebing, masihkah ia menggunakan perasaannya untuk meratapi diri sementara ia sendiri sudah pasti tak akan pernah selamat?
”kau tidak tahu apa-apa, tentara zionis dan yang lainnya. Kau gadis bodoh!”
“yang hanya kutahu, ayahku.dialah yang mendidikku seperti ini.”




Hancur, lebur.
Semua orang di sekitarnya menutup telinga mereka rapat-rapat sambil menjerit, sedangkan ia, gadis itu hanya berdiri diam terhenyak. Kesedihannya akan hancurnya sekolah menulikan gendang telinganya seketika, jauh lebih memadamkan impian dan cita-citanya. Pada janji Palestine untuk sang ibunda sebelum ini. Gadis kecil itu pernah berjanji pada ibunya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang yang bisa dibanggakan, seorang dokter yang bertugas untuk menyelamatkan para korban perang dan menolong para pengungsi yang menderita sakit.
Kandas. Semua impian dan cita-citanya tiba-tiba kandas di tengah di jalan. Hilang, jika saja dia diperbolehkan untuk berandai. Dan, jika saja ia dilahirkan sudah dalam keadaan dewasa, tidak menjadi seorang gadis kecil yang mungil ini. Pastinya, Palestine memiliki kekuatan untuk itu. Sebuah kekuatan yang tertanam dari dalam dirinya, kekuatan besar untuk melawan.
Namur apa daya? Palestine aníllala Palestine, gadis kecil berusia sebelas tahun yang dianggap oleh banyak orang tidak tahu apa-apa dan mungkin memang tidak perlu tahu.

Palestine tertidur di atas mobil pick up, tumpangan khusus untuk anak-anak Palestina yang terlantar dan kehilangan anggota keluarganya. Hembusan angin malam hari itu menggelayutkan dirinya untuk sejenak melenas penat.
Tatapan Yanaan, seorang pemuda yang menjadi ketua dari pengurus anak-anak itu beralih ke arah Palestine yang kala itu baru saja membuka matanya, ia pun menyapa gadis kecil itu.
“siapa namamuj,gadis bergaun putih? Sebutkan biar aku catat disini.”
”Palestine..”
“Palestine? Siapa yang memberimu nama itu? Kalau kau sudah sampai di kamp, kau harus mengganti namamu. Kalau kau tiba-tiba bertemu tentara Israel, kau tak boleh sebutkan nama itu. Kau akan dicelakainya.” sarannya.
”ini nama pemberian ayahku, aku tidak mau menggantinya. Walau harus mati, aku harus tetap memakai nama Palestine. Agar sewaktu-waktu ayahku bisa menemukan jasad dan makamku. Aku tidak takut dilukai,apapun itu!”
”siapa nama ayahmu?”
”yahded haidar”                                                                                                                     
”ah, yahded...? yanaan mencoba mengingat-ingat nama yang disebutkan gadis kecil itu tadi, tapi belum sempat ia bertanya lagi ternyata sopir yang membawa mereka ke kamp pengungsian di  Jabaliya meminta mereka turun dan berkumpul mencari tenda untuk tempat tinggal sementara waktu sampai situasi kota Gaza benar-benar aman.

Puisi Palestine untuk Israel
Palestine, menggugat Israel
Seorang gadis kecil yang menghadapkan wajahnya,
Mengarah ke atas langit, siang hari,
Tak sepantasnya yang harus dilihat,
Oleh seorang gadis kecil, Palestine

Tak sepantasnya...
Di mana bukanlah lambaian dari layang-layang
Yang dihembuskan ke kanan kiri oleh sang angin,
Tapi, sebuah pesawat besar, yang kata gadis itu,

Palestine menjerit kuat
Mengangkat tangannya dan mendongak,
Serunya yang terdengar menggelegar,
”Kalian adalah Laknat!”
Seorang gadis kecil sebelas tahun

Berteriak ”Laknat untuk Israel!”
Seharusnya ia berkata lain, tentang impiannya
Tapi, impian itu telah kandas, bersamaan dengan datangnya hari
Palestine, menggugat dunia...
Dan berkata, ”Laknat untuk Israel!”




”assalamu’alaikum palestine..”
”wa’alaikum salam.”
Palestine baru saja mengikuti sholat berjamaah. Berbekal mukena sumbangan dari para donatur luar negeri.

”aku masih penasaran dengan nama ayahmu. Sepertinya aku pernah mendengarnya.” tutur Yahnaan.
Palestine ingat pesan sang ayah sebelum pria bertubuh tegap dan berkumis lebat itu berangkat dan meninggalkannya untuk terakhir kalinya.

”palestine, jika ada orang asing siapa pun itu menanyakan tentang diri ayah, dan dia benar-benar tidak kamu kenali, meski dia mengaku menjadi teman kita, sedarah Palestina, jangan mudah percaya. Jangan katakan siapa dirinya ayah, berjanjilah Palestine!”
Gadis itu mendenguskan hidungnya dan lalu berjalan pergi.
Yanaan menarik lengan Palestine, ”hei, palestine! Tunggu sebentar!”
Karena merasa langkah gadis itu ditahannya, amarahnya pun mulai meluap dan geram melihat perlakuan Yahnaan.
”allahuakbar, hai kau! Apa pedulimu padaku? Jangan pernah bertanya lagi atau kulempar kau dengan batu!”
Pemuda itu terhenyak kaget ketika melihat sikap kasar yang tiba-tiba keluar dari balik kediaman seorang Palestine. ”’allahu akbar, dia benar-benar berkarakter gadis Palestina.”

Tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara serdadu Israel. Seluruh orang kalang kabut, dan segera menaikki mobil pick up. Namun baru saja kaki kanannya dinaikkan, serdadu mengenai dada Palestine. Palestine terkapar, Yahnaan menggendong Palestine dengan cepat-cepat. Beruntung dia tidak sampai meninggal.

Setelah serdadu Israel pergi, mereka pun kembali lagi ke Kamp Jabaliyah.
Sosok gadis itu berdiri di atas batu besar sendirian. Berbalut selimut, ia keluar untuk melihat bintang di langit. Dibawanya kotak musik pemberian dari Abigail, sosok wanita yang tak lagi ditemuinya. Alunan musik yang menyenandungkan lagu perayaan Idul Fitri.
Tiba-tiba Palestine menangis, merasakan rasa sakit di dadanya dan terasa sesak. Rupanya, bekas luka dari tembakan itu masih terasa membekas. Gadis itu terbatuk-batuk di malam hari, suaranya menjadi parau dan serak. Napasnya pun tak lagi normal seperti dulu karena kekejaman dunia.
Penyakit radang paru-parunya semakin memburuk, apalagi jatah obat-obatan makin lama makin sedikit dan harus menunggu kiriman bantuan obat dari luar.

Ketika semua orang tengah digemparkan dengan aksi peyerangan di kapal Mavi Marmara, pembawa dana bantuan dan kemanusiaan, semua pengungsi Jabaliyah keluar berbondong-bondong untuk melihat acara berita di televisi pagi itu.
Saat semuanya sibuk dengan rasa sedih serta mengutuk bangsa Israel atas kekejaman itu, Yanaan sadar bahwa ia tak lagi menemui Palestine, terlihat cemas. Dimana gadis itu?
”palestine..palestine. panggilnya masuk ke dalam tenda. Digoyang-goyangkannya tubuh Palestine, namun tetap tidak ada reaksi apa pun. Bahkan, suara napasnya yang naik turun itu pun tak lagi terdengar.
”Ya Allah, mengapa kau takdirkan demikian jika berakhir demikian? Mengapa dia mati, sementara ada harapan dari ayahnya yang membuatnya kuat untuk hidup.”
Pemuda itu keluar membopong tubuh kaku Palestine. Moniroth, seorang wartawan yang Sangay menyayanginya tercengang dan menangis keras.
Dari kejauhan, Fasakh yang baru datang dari Gaza menghampiri Yanaan untuk menyampaikan sebuah amplop dari bibi Palestine untuk Palestine.
Yanaan duduk berjongkok. “rupanya kau telah menemukan kebahagiaamu palestine. Hai Palestine. Surat yang kau tunggu dari bibimu datang, kau pasti tidak menyangka bukan?”
Yanaan membacakan surat itu…
Keponakanku, Palestine. Jika Allah msh memberikanmu kehidupan, kau akan bhgia selalu. Kuberikan sebuah rumah warisan untukmu di Jordania. Kau bisa pergi resana, katakanlah pada Bibi Fátima dan serahkan surat ini. Berbahagialah di Yordania.
Selapas Yahnaan membacakan surat itu pada sesosok jasad yang terbalut selimut. Barulah Fasakh tahu bahwa gadis kecil itu, gadis pejuang intifadah yang selalu membawa batu di dalam sakunya dan seing berteriak, ”Laknat untuk Israel!” kini telah mati.
Rupanya, Allah lebih menjanjikan mereka di dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.

0 comments:

Posting Komentar

 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea