Lumpy Space Princess - Adventure Time

Selasa, 13 Agustus 2013

Di Bawah Langit Jabaliyah

Posted by Unknown at 00.11 0 comments


Di bawah sinar matahari yang teriknya, gadis kecil itu masih berdiri sambil meneteskan air matanya. Bajunya kotor dan ada sedikit bercak-bercak darah. Jilbab yang dipakainya tak seluruh menutupi rambutnya. Mungkin pada bagian poni yang terlihat. Penampilannya sungguh acak-acakan. Air matanya juga tak henti turun. Dia masih berdiri di ujung siang sampai detik ini. Tak ada sedikit pun gerakan darinya. Hanya gerakan air mata yang turun dan membasahi pipinya. Ya. Membasahi pipinya yang kecil, lusuh dan kotor.
Matanya memandang padang pasir yang sangat luas. Tenda-tenda berdiri lemah di belakangnya. Nafasnya sedikit tersendat. Orang-orang yang ada di sana sama sekali tak mengerti bagaimana penderitaannya. Tentu saja. Karena mereka sama-sama menderita. Mungkin. Sebagian.

“Hey gadis kecil! Ayo ke sini! Di sana panas. Bagaimana kalau tiba-tiba para tentara zionis itu meneyerang!?” Teriak seorang pria dari sana.
Gadis kecil itu masih terdiam tak bergeming sama sekali. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika akhirnya akan seperti ini.
“Assalamualaikum.” Ucap seorang pria padanya.
Gadis itu mendongak.
“Waalaikumsalam.”
“Kau sendiri di sini?” Tanya pria tersebut. Gadis itu diam.
“Adakah orang yang kau kenal di Jabaliyah?”
Gadis itu menggeleng lalu berjalan pergi dari pria tersebut. Pria itu menatap gadis yang tak tahu siapa itu aneh. Ada apa dengannya?
Gadis kecil itu berjalan menuju pengungsiannya. Terdapat banyak orang di sana. dia tak mengenal satu pun dari orang-orang tersebut. Termasuk pria tadi.
Dia pun mengambil selembar foto. Foto kenangan dari orang yang amat dicintainya. Orang yang menyayanginya. Dan orang yang bisa mengerti perasaannya.
“Abi, Ummi, Abdillah, mengapa kalian harus pergi secepat itu? Tak tahukah bahwa ada seorang gadis kecil yang kesepian di sini?” Ucapnya sambil meneteskan satu tetes air mata.
Dia menggigit bibirnya. Dia menegadah untuk mencegah air matanya turun. Dia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Dia benar-benar telah kehilangan orang yang benar-benar sangat dia sayangi. Segalanya kini hanyalah tinggal seberkas kenang.
“Kau kehilangan keluargamu?” Tanya pria tadi.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan foto yang dia lihat. Dia terlihat kaget ketika pemuda itu datang.
“Kau tidak usah menyembunyikannya. Banyak mereka di sini yang sama sepertimu. Termasuk aku.”
Pemuda itu duduk di samping gadis kecil. Gadis itu sedikit bergeser. Dia memeluk lututnya.
“Kau tak usah takut padaku. Aku tak termasuk ke dalam tentara Israel itu. Namaku Yaasir.” Ucapnya.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. Dia pun menunduk lagi.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
“Nur. Nurlaila.”
“Cahaya di malam yang gelap? Namamu bagus. Kau harus seperti namamu.”
Gadis itu mendongak lagi dan menatap pemuda tersebut. Dia menyunggingkan seulas senyum kecil di bibirnya. Walau sangat jelas ada raut kesedihan di wajahnya.
“Kau masih berumur delapan tahun?”
Gadis itu mengangguk.
“Kau punya saudara yang berumur dua belas tahun?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Sepertinya banyak sekali masalah dalam pikiranmu. Kau harus mengikhlaskan mereka. Insya Allah, mereka meninggal sebagai syuhada. Hidupmu masih panjang. Mungkin Allah lebih menyayangi mereka.”
“Mengapa hal ini harus terjadi di sini? Mengapa Allah tidak adil terhadap tanah ini. Kapan Palestina bisa bebas dari kekangan para zionis kejam itu? Kapan Palestina bisa hidup damai dari para Israel laknattullah itu? Kapan? Hidup ini sungguh tak adil bagiku dan bagi mereka. Palestina selalu hidup seperti ini. Selalu gugur sebelum mekar. Mengapa? Apakah karena mereka benci terhadap agama Allah? Apakah yang mereka inginkan dari bumi Palestina? Tanahnya? Tanah itu milik Allah. Mengapa Allah tak melindungi tanah Palestina? Apakah terlalu banyak dosa di sini? Padahal sudah ribuan do’a terpanjat untuk-Nya. Kapan tanah ini akan damai?” Lirihnya sambil mengeluarkan air mata perlahan. Yaasir mengelus kepala gadis itu.
“Kau tak boleh berprasangka buruk terhadap Allah. Allah selalu mengikuti prasangka kita. Apa yang telah dikehendaki-Nya, itulah yang terbaik.” Nasihatnya.
“Aku tahu. Kau benar. Aku tak boleh berkata seperti itu.”
“Aku percaya kau gadis yang baik. Aku percaya kelak nanti kau akan menaburkan kesejahteraan di tanah ini. Aku percaya. Kau harus percaya.”
“Aku harus menuntut balas. Aku harus meluapkan dendam ini kepada mereka. Aku tak harus diam. Negeri ini butuh keadilan.” Ucapnya.
Yaasir terdiam. Perkataan gadis kecil berumur delapan tahun itu sangat dewasa. Dia tak pernah melihat gadis setegar Nurlaila. Dia belum pernah mendengar perkataan bijak dari seorang gadis yang sangat kecil. Sekecil dia.
“Apa cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi seorang Hamas seperti Abi. Dia adalah Abi terbaik. Dia hebat. Aku ingin membela tanah Palestina. Menjadi seorang Hamas. Aku ingin melepaskan belenggu Israel di tanah ini. Bagaimana pun juga! Aku harus melepaskannya. Kita di sini hanya sama seperti ikan di laut yang tertangkap. Tak bisa berenang bebas lagi.”
“Abimu, sudah meninggal?”
“Aku tak tahu. Dia di penjara mungkin. Jika Israel bertemu Hamas, pasti mereka akan ditangkap. Dan sepertinya Abiku mungkin ditangkap.”
“Kau harus bersabar, Nurlaila. Aku tahu ini sulit bagimu. Apalagi di umurmu yang baru delapan tahun. Aku bisa mengerti bagaimana perasaanmu. Kau harus tangguh. Allah bersama kita.”
“Aku harus bisa balas dendam pada mereka.”
“Nurlaila! Laila!”
Yaasir terus berteriak melihat gadis kecil itu terus berlari menuju sekawanan tentara zionis itu. Gadis tersebut terus berjalan tanpa henti dan peduli terhadap Yaasir.
“Nurlaila! Kau bisa tertangkap!”
“Aku tak peduli! Aku harus membunuh mereka! Aku juga harus menemukan Ayahku!”
“Tapi Laila, itu bahaya! Kau harus kembali!”
“Aku tak peduli!”
Laila terus berlari menjauhi Yaasir. Sementara Yaasir terhenti ketika melihat Laila berdiri di hadapan para tentara zionis yang sudah siap siaga untuk menembak Laila jika dia dianggap membahayakan.
“Hey anak kecil! Kau siapa!?” Sahut seseorang.
“Aku tak membawa bom. Aku hanya ingin bertemu dengan Ayahku. Kemarin aku melihatnya di sini.” Ucap Laila.
Para tentara itu masih bersiap akan menembak Laila.
“Kalian bisa memeriksaku. Aku tak membawa apa-apa.”
Salah satu dari mereka pun berbisik. Sedikit ada senyum sinis di wajah mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba mereka menurunkan senjatanya.
“Siapa nama Ayahmu?”
“Badrussalam.” Ucapnya sambil tersenyum.
Salah satu dari zionis itu, yang tak lain bernama Mascow mengajak Laila.
“Ayo ikut aku!” Ajaknya.
Laila pun mengikutinya dari belakang. Mascow memegang tangan Laila kecil. Dilihatnya banyak sel-sel berisi orang-orang Palestina yang telah mereka tangkap. Banyak di antara mereka yang terlihat tersiksa dan kelaparan. Laila mulai takut ketika melihat mereka semua. Tiba-tiba dia jadi ingin keluar. Di tengah semua itu, seseorang tiba-tiba berisyarat padanya untuk segera keluar. Namun sayang, orang itu terlihat oleh Mascow. Mascow pun langsung memandangnya dan menyuruh seorang pengawal untuk membawanya. Entah untuk apa.
“Mengapa kau membiarkan dia keluar?”
“Dia akan tahu akibatnya.” Ucap Mascow.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras dari arah orang tadi dibawa. Laila semakin tak karuan. Dia menjadi takut. Dia takut akan dipenjarakan.
“Apakah kau akan mengurungku?”
“Tidak. Bukankah aku akan mempertemukanmu dengan Ayahmu?”
Laila diam. Hatinya masih tak sepenuhnya percaya pada yang dikatakan Mascow. Dia semakin ketakutan.
“Aku.. aku ingin keluar dari sini.” Ucap Laila gelagapan.
Mascow langsung memandang keji pada Laila. Laila menggulung-gulung kecil bajunya.
“Bukankah kau ingin bertemu dengan Ayahmu? Diam di sini!”
Mascow pun memborgol tangan kanan Laila ke jeruji besi yang kosong. Hati Laila terus merasa tak nyaman. Mascow pun tersenyum sinis padanya. Dia melihat sebuah arti dari senyum tersebut. Ya, seperti menggambarkan kecurangan. Senyum yang penuh kecurigaan.
Tak lama dari itu, Laila melihat Mascow dan seorang temannya sedang membawa Ayahnya. Terlihat dari wajah Ayahnya, sangat menggambarkan wajah yang lusuh dan lelah. Kedua tangan Ayahnya diborgol oleh mereka.
“Abi!” Seru Laila sambil tersenyum bahagia.
Namun sayang, Abinya tak mendengar seruannya itu. Laila mencoba melepaskan borgolnya. Dia benar-benar ingin memeluk Ayahnya.
“Abi!” Serunya lagi.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
“Lakukan saja di sini! Di sana ada anaknya, biarkan dia melihatnya.” Ucap Mascow.
“Baik.”
Mascow pun menghampiri Laila masih dengan senyum sinis. Laila melihat Ayahnya tertunduk pasrah. Salah satu teman Mascow sedang memasukan peluru ke dalam pistolnya.
“Apa yang akan kau lakukan pada Abiku? Apa?!”
“Kau lihat saja sendiri!” Ucap Mascow masih dengan senyum sinisnya. Tiba-tiba saja mata Laila hampir keluar dari tempatnya. Dia melihat Ayahnya hendak ditembak oleh timah panas. Ditembak oleh temannya. Air mata Laila tak sengaja turun membasahi pipi lusuhnya.
“Abi!” Teriaknya keras.
Ayahnya mendongak. Dia melihat Laila dengan setetes air mata membasahi pipinya.
“Laila,” Desahnya.
Laila menangis begitu pun Ayahnya. Bibir Laila bergetaran. Ayahnya menatap sendu Laila.
“Jangan! Jangan tembak Ayahku! Jangan!” Teriak Laila.
Namun teman Mascow itu sudah siap untuk membidik.
“Sudah Laila. Biarkan saja Ayah.” Ucapnya lembut sambil tersenyum.
“Tidak! Itu tidak boleh! Lepaskan! Lepaskan aku!” Tangis Laila.
Dia benar-benar tak kuasa jika akan melihat Ayahnya sekarang ditembak. Ditembak di depan matanya sendiri.
“Tidak! Abi tak boleh mati. Abi harus di sini.” Desahnya.
Duaarrr!
“Abi!”
Mata Laila melotot. Mulutnya menganga. Dia melihatnya, ya. Dia melihat sesuatu bergetar di bibir Ayahnya ketika timah panas itu menancap tepat di lehernya. Ya, dia mengucapkan “Allahu Akbar”. Dia melihatnya. Seulas air mata turun deras lagi di pipinya. Dia terduduk dengan borgol di tangan kanannya. Dia menangis. Dia benar-benar melihat jasad Ayahnya terkulai lemah di atas lantai yang bau dan kotor. Dia melihat banyak darah mengalir di lantai itu. Darah segar Ayahnya. Ya. Darah segar Ayahnya.
“Abi! Abi!” Isaknya.
“Tidak! Ini tidak mungkin ini mimpi! Tidak Abiku tak mungkin meninggal! Tidakkkk!” Jeritnya.
Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia menggigit keras bibirnya sampai berdarah menahan air matanya. Dia terus menggeleng-geleng.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dia menggoyang-goyangkan borgol di tangannya agar terlepas. Dia tak kuasa dia tak kuasa.
“Cepat keluar!” Mascow pun melepaskan borgol dan menyeret Laila keluar. Laila masih meronta-ronta minta dilepaskan dan memeluk jasad Ayahnya untuk terakhir kali.
“Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku memeluk Abiku! Tidak!”
Dia melepaskan cepat tangan Mascow. Dia langsung menyambar jasad Ayahnya yang berlumuran darah. Dia menangis terus sambil memeluk jasad Ayahnya.
“Abi,” Lirihnya sambil mengusap-ngusap Ayahnya.
Mascow hanya melihat Laila dari kejauhan. Tak dirasakannya, air matanya meleleh setetes di pipinya.
“Bagi mereka, nyawa orang-orang di sekitarku hanya seperti daun yang jatuh dari rantingnya di musim gugur. Begitu mudah untuk menjatuhkan mereka. Sehingga jelas sekali, nyawa itu seperti tak ada harganya.” – Laila.
Laila masih memeluk lutut dan membungkam mulut. Bajunya masih dipenuhi darah Ayahnya. Air matanya berlelehan jatuh membasahi pipi lusuh. Badannya masih bergetaran tak kuasa menahan segalanya. Yaasir merasa kasihan padanya. Dia benar-benar merasakan seperti apa yang dirasakan Laila.
“Sudahlah Laila. Aku tahu kau tak bisa menerima semua ini. Ayo, kau mandi dulu lalu berwudlu. Kita sholat bersama.”
“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya sendiri di sini.”
“Sudahlah, kau masih memilikiku di sini. Kau jangan berputus asa. Kita masih punya harapan untuk menang.”
“Hidup adalah perjuangan. Saat kau merasakan pahit manisnya hidup, banyak rasa yang kita rasakan. Saat kau merasakan getir dan kejamnya hidup, janganlah berputus asa. Dan saat kau selalu terjatuh dan terjatuh, bangkitlah. Kapan pun, di mana pun, siapa pun, dan bagaimana pun, bangkit dan jalanilah hidup. Walau lelah, akan tiba saatnya Tuhan meminta kita pulang dan kembali dalam pelukan-Nya.” – Yaasir.
Yaasir terdiam sambil meneteskan air mata. Air mata tulus dan bening. Melihat gadis kecil itu tertidur, sungguh seperti menahan nafas yang menghembus perdetiknya. Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia sungguh merasa prihatin melihatnya. Gadis kecil, delapan tahun, ditinggal oleh semua keluarganya. Dan baru sekarang dia melihat Laila tidur dengan nafas tersendat-sendat. Dia seperti mengalami gangguan pernafasan.
“Laila, mengapa gadis kecil sepertimu harus seperti ini? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tentang dirimu. Kau sakit. Lebih dari sakit yang kurasa. Lebih dari sakit yang mereka rasakan.” Ucap Yaasir sambil meneteskan air mata.
Dia mengelus-elus kepala Laila pelan. Dia sungguh tak bisa membiarkan gadis sekecil dia tersiksa seperti ini. Ya, tersiksa di atas hidup yang kejam.
“Dia memang seperti itu. Ketika dadanya tertembak timah panas, dia mengalami gangguan pernafasan. Banyak orang bilang, dia mengalami kanker paru-paru. Dia beruntung masih bisa selamat.” Ucap seseorang yang duduk di samping Yaasir.
“Assalamualaikum, kau tahu apa yang terjadi pada anak ini?”
“Ya. Dulu dia tinggal bersebelahan dengan rumahku. Dia sangat ceria. Dulu dia bukan seperti ini. Mungkin dia trauma. Semenjak rumahnya roboh, dan Ibu juga Kakaknya meninggal, dia jadi seperti ini. Namun dia masih bisa tersenyum dan mempunyai harapan untuk bertemu dengan Ayahnya. Tapi sekarang semuanya sudah pupus mungkin. Walau pun begitu, semangat juangnya sangat tinggi. Dia adalah satu-satunya anak kecil yang sangat tegar yang pernah aku temui. Aku tak pernah menemukan gadis seperti dia.”
Yaasir terdiam. Benar, apa yang dikatakan orang itu adalah benar. Laila adalah gadis yang tegar. Hidupnya memang penuh dengan ujian dan cobaan. Walau berat, gadis itu masih punya setitik harapan untuk bisa menjalani hidup. Walau keras, walau kejam dan walau penuh dengan rintangan, namun dia tak punya rasa untuk berhenti dan berjuang demi tanahnya.
“Andaikan aku setegar karang, aku mungkin masih bisa bertahan walau ombak besar menerjang. Andaikan aku seperti kaktus, mungkin aku masih bisa tumbuh walau dalam keadaan yang tandus. Andai aku sekuat batu, bagaimana pun aku di hancurkan, tak akan cepat untuk menjadi hancur. Namun, diriku hanyalah bagaikan sebutir tanah yang selalu diinjak-injak. Diremehkan. Dan tak dianggap. Aku selalu bermimpi menjadi air. Air bisa mengalir bebas ke mana pun dia mau. Dia selalu bersama. Menyatu dengan air-air lainnya. Dan air, selalu menjadi sumber dari setiap kehidupan.”-Laila.
“Yaasir, kau akan meninggalkanku sendiri di sini? Aku ingin ikut denganmu. Ayo kita berperang bersama.” Pinta Laila.
Yaasir pun berjongkok di hadapannya.
“Medan perang bahaya, kau tidak boleh ikut denganku. Jabaliyah aman. Di sana tak aman. Kau tak boleh ikut.”
“Mengapa? Apakah aku akan membiarkanmu tewas di sana? Aku tak ingin kehilanganmu, Yaasir. Kau satu-satunya orang yang peduli padaku.”
Yaasir pun tersenyum. Dia melihat ke belakang Laila. Laila mendongak. Banyak anak kecil seumurannya di sana. Mereka tersenyum manis pada Laila.
“Di sinilah Laila, kau bisa berteman dengan kami.”
Laila pun mengangguk. Dia merasa khawatir jika Yaasir harus pergi tanpa dirinya. Namun dia ingat, Allah pasti akan selalu bersamanya. Juga akan selalu bersama Yaasir.
“Marilah menjadi sebatang pohon. Setiap satu daun gugur, maka akan tumbuh seribu daun setelahnya.”-Laila.
“Mana gadis kecil yang kau sebut Laila itu? Mengapa kau tak mengajaknya ke sini!” Teriak salah satu tentara zionis itu.
“Aku tak akan membiarkan anak itu tewas di tanganmu, hay Zionis Laknatullah! Dia tak mudah untuk kau gugurkan begitu saja! Aku tak akan membiarkannya!”
“Hahaha, apakah kau akan menjadiakan dia istrimu? Umurmu terpaut sepuluh tahun dengannya! Apakah kau takut untuk tak bisa menikahinya?”
“Demi Allah, aku rela mati demi dia. Kau bisa membunuhku sekarang, asalkan berhentilah mengganggu hidupnya. Dia masih memiliki hidup yang panjang. Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya!”
“Aku di sini!”
Seseorang tiba-tiba saja berucap. Yaasir dan zionis itu langsung mendongak. Laila sudah berdiri di sana dengan tatapan keji pada zionis itu.
“Laila kenapa kau di sini?”
“Demi Allah, sampai aku mati aku akan terus membela tanah ini!” Ucap Laila.
Zionis itu langsung mengarahkan bidikan ke arah Laila. Laila masih terdiam berdiri di sana. Yaasir langsung mengarahkan pedangnya ke arah zionis itu. Namun sayang, satu timah panah menelusup tepat di tangan kanannya.
“Arghhh!” Teriak Yaasir.
“Yaasir!”
Ketika dia hendak berlari menuju Yaasir, bidikan itu hampir ditembakan kepadanya.
“Mengapa kau tak menembakannya? Tembak saja aku!”
“Jangan!”
Zionis itu pun perlahan menarik dan akan membidik Laila memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.
“Duaarrrr!”
Suara timah panas menembus dada terdengar begitu mengguruh. Bercak darah segar sedikit terbecak ke arah Laila. Dia membuka matanya. Sudah terlihat zionis yang hendak membunuhnya telah terbunuh di hadapanya. Dia ditembak oleh seseorang. Ya, itu Mascow. Dia telah menembak golongannya sendiri. Dia telah menembak temannya sendiri. Laila merasa aneh, tiba-tiba saja Yaasir memeluk Laila. Laila didekapnya erat. Seperti dekapan perpisahan. Tiba-tiba sebuah peluru menelusup dan masuk lagi ke tangan Yaasir. Namun ini tangan kirinya. Dan peluru itu…
Mascow menatapnya. Ada sebuah air mata yang menetes di sela-sela tetesan air mata mereka. Dia menepuk-nepuk pundaknya. Kini Mascow sudah masuk islam. Itu karena Laila waktu itu. Namanya telah dia ubah menjadi Badrussalam. Ya, Ayahnya Laila. Entah mengapa dia ingin nama itu.
“Sudah Yaasir, ikhlaskan dia. Aku tahu, kau sangat menyayanginya. Seperti adikmu sendiri.”
“Dia memang adikku. Namun aku selalu lupa untuk memberitahunya. Kau mungkin tahu orang yang kau tembak, dia adalah pengawal selku saat itu. Aku sangat menanti kedatangannya. Saat aku bersekolah, aku ditangkap oleh Israel. Aku dipenjarakan ketika Ummi sedang mengandung Laila. Aku sangat ingin melihatnya. Dan kini, saat aku sudah bisa melihatnya, dia malah pergi dariku untuk selamanya.”
“Maafkan aku.” Ucap Mascow.
“Untuk apa?”
“Aku telah menyuruh seseorang untuk menembak Ayahmu.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya. Setelah kejadian itu, Laila jadi sering diam. Namun ketika dia tahu aku akan perang, dia malah begitu bersemangat untuk ikut denganku. Aku benar-benar tak tahu ada seseorang yang akan menembak kami. Aku juga tak tahu jika peluru itu bisa menembus lagi ke dalam dada Laila setelah menembus tangan kiriku. Aku tak tahu.” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Mascow menatap sendu Yaasir. Ternyata seperti inilah penderitaan mereka. Golongannya telah menghancurkan kedamaian di Palestina. Entah bagaimana caranya untuk bisa berdamai. Pasti Israel tak mau melakukannya.
“Aku baru mengerti. Betapa kejamnya golonganku. Aku tak pernah bisa memikirkan bagaimana penderitaan kalian. Seandainya aku lebih tahu.”
Yaasir masih berdiri di tengah malam. Pandangannya lurus menatap langit. Setiap hari dia selalu menatap langit Jabaliyah. Dia selalu menatapnya untuk memeriksa, apakah Nurlaila masih ada di bumi Jabaliyah? Apakah cahaya malam itu masih bersinar terang di langit sana? Walau pun cahaya itu telah mati?
Hatinya bisa percaya. Walau pun daun kuat dan tegar bernama Nurlaila itu sudah gugur dan terjatuh lalu menyatu dengan tanah, namun dia yakin. Semangat juangnya masih tertanam kuat di ujung akar dan akan mengalir menuju daun-daun berikutnya untuk menjadi seperti Laila. Walau Laila hanya tinggal sebatas kenangan.
 
Di Bawah Langit Jabaliyah
Di bawah sinar matahari yang teriknya, gadis kecil itu masih berdiri sambil meneteskan air matanya. Bajunya kotor dan ada sedikit bercak-bercak darah. Jilbab yang dipakainya tak seluruh menutupi rambutnya. Mungkin pada bagian poni yang terlihat. Penampilannya sungguh acak-acakan. Air matanya juga tak henti turun. Dia masih berdiri di ujung siang sampai detik ini. Tak ada sedikit pun gerakan darinya. Hanya gerakan air mata yang turun dan membasahi pipinya. Ya. Membasahi pipinya yang kecil, lusuh dan kotor.
Matanya memandang padang pasir yang sangat luas. Tenda-tenda berdiri lemah di belakangnya. Nafasnya sedikit tersendat. Orang-orang yang ada di sana sama sekali tak mengerti bagaimana penderitaannya. Tentu saja. Karena mereka sama-sama menderita. Mungkin. Sebagian.
Description: Cerpen Cahaya Malam di Bumi Jabaliyah
“Hey gadis kecil! Ayo ke sini! Di sana panas. Bagaimana kalau tiba-tiba para tentara zionis itu meneyerang!?” Teriak seorang pria dari sana.
Gadis kecil itu masih terdiam tak bergeming sama sekali. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika akhirnya akan seperti ini.
“Assalamualaikum.” Ucap seorang pria padanya.
Gadis itu mendongak.
“Waalaikumsalam.”
“Kau sendiri di sini?” Tanya pria tersebut. Gadis itu diam.
“Adakah orang yang kau kenal di Jabaliyah?”
Gadis itu menggeleng lalu berjalan pergi dari pria tersebut. Pria itu menatap gadis yang tak tahu siapa itu aneh. Ada apa dengannya?
Gadis kecil itu berjalan menuju pengungsiannya. Terdapat banyak orang di sana. dia tak mengenal satu pun dari orang-orang tersebut. Termasuk pria tadi.
Dia pun mengambil selembar foto. Foto kenangan dari orang yang amat dicintainya. Orang yang menyayanginya. Dan orang yang bisa mengerti perasaannya.
“Abi, Ummi, Abdillah, mengapa kalian harus pergi secepat itu? Tak tahukah bahwa ada seorang gadis kecil yang kesepian di sini?” Ucapnya sambil meneteskan satu tetes air mata.
Dia menggigit bibirnya. Dia menegadah untuk mencegah air matanya turun. Dia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Dia benar-benar telah kehilangan orang yang benar-benar sangat dia sayangi. Segalanya kini hanyalah tinggal seberkas kenang.
“Kau kehilangan keluargamu?” Tanya pria tadi.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan foto yang dia lihat. Dia terlihat kaget ketika pemuda itu datang.
“Kau tidak usah menyembunyikannya. Banyak mereka di sini yang sama sepertimu. Termasuk aku.”
Pemuda itu duduk di samping gadis kecil. Gadis itu sedikit bergeser. Dia memeluk lututnya.
“Kau tak usah takut padaku. Aku tak termasuk ke dalam tentara Israel itu. Namaku Yaasir.” Ucapnya.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. Dia pun menunduk lagi.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
“Nur. Nurlaila.”
“Cahaya di malam yang gelap? Namamu bagus. Kau harus seperti namamu.”
Gadis itu mendongak lagi dan menatap pemuda tersebut. Dia menyunggingkan seulas senyum kecil di bibirnya. Walau sangat jelas ada raut kesedihan di wajahnya.
“Kau masih berumur delapan tahun?”
Gadis itu mengangguk.
“Kau punya saudara yang berumur dua belas tahun?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Sepertinya banyak sekali masalah dalam pikiranmu. Kau harus mengikhlaskan mereka. Insya Allah, mereka meninggal sebagai syuhada. Hidupmu masih panjang. Mungkin Allah lebih menyayangi mereka.”
“Mengapa hal ini harus terjadi di sini? Mengapa Allah tidak adil terhadap tanah ini. Kapan Palestina bisa bebas dari kekangan para zionis kejam itu? Kapan Palestina bisa hidup damai dari para Israel laknattullah itu? Kapan? Hidup ini sungguh tak adil bagiku dan bagi mereka. Palestina selalu hidup seperti ini. Selalu gugur sebelum mekar. Mengapa? Apakah karena mereka benci terhadap agama Allah? Apakah yang mereka inginkan dari bumi Palestina? Tanahnya? Tanah itu milik Allah. Mengapa Allah tak melindungi tanah Palestina? Apakah terlalu banyak dosa di sini? Padahal sudah ribuan do’a terpanjat untuk-Nya. Kapan tanah ini akan damai?” Lirihnya sambil mengeluarkan air mata perlahan. Yaasir mengelus kepala gadis itu.
“Kau tak boleh berprasangka buruk terhadap Allah. Allah selalu mengikuti prasangka kita. Apa yang telah dikehendaki-Nya, itulah yang terbaik.” Nasihatnya.
“Aku tahu. Kau benar. Aku tak boleh berkata seperti itu.”
“Aku percaya kau gadis yang baik. Aku percaya kelak nanti kau akan menaburkan kesejahteraan di tanah ini. Aku percaya. Kau harus percaya.”
“Aku harus menuntut balas. Aku harus meluapkan dendam ini kepada mereka. Aku tak harus diam. Negeri ini butuh keadilan.” Ucapnya.
Yaasir terdiam. Perkataan gadis kecil berumur delapan tahun itu sangat dewasa. Dia tak pernah melihat gadis setegar Nurlaila. Dia belum pernah mendengar perkataan bijak dari seorang gadis yang sangat kecil. Sekecil dia.
“Apa cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi seorang Hamas seperti Abi. Dia adalah Abi terbaik. Dia hebat. Aku ingin membela tanah Palestina. Menjadi seorang Hamas. Aku ingin melepaskan belenggu Israel di tanah ini. Bagaimana pun juga! Aku harus melepaskannya. Kita di sini hanya sama seperti ikan di laut yang tertangkap. Tak bisa berenang bebas lagi.”
“Abimu, sudah meninggal?”
“Aku tak tahu. Dia di penjara mungkin. Jika Israel bertemu Hamas, pasti mereka akan ditangkap. Dan sepertinya Abiku mungkin ditangkap.”
“Kau harus bersabar, Nurlaila. Aku tahu ini sulit bagimu. Apalagi di umurmu yang baru delapan tahun. Aku bisa mengerti bagaimana perasaanmu. Kau harus tangguh. Allah bersama kita.”
“Aku harus bisa balas dendam pada mereka.”
“Nurlaila! Laila!”
Yaasir terus berteriak melihat gadis kecil itu terus berlari menuju sekawanan tentara zionis itu. Gadis tersebut terus berjalan tanpa henti dan peduli terhadap Yaasir.
“Nurlaila! Kau bisa tertangkap!”
“Aku tak peduli! Aku harus membunuh mereka! Aku juga harus menemukan Ayahku!”
“Tapi Laila, itu bahaya! Kau harus kembali!”
“Aku tak peduli!”
Laila terus berlari menjauhi Yaasir. Sementara Yaasir terhenti ketika melihat Laila berdiri di hadapan para tentara zionis yang sudah siap siaga untuk menembak Laila jika dia dianggap membahayakan.
“Hey anak kecil! Kau siapa!?” Sahut seseorang.
“Aku tak membawa bom. Aku hanya ingin bertemu dengan Ayahku. Kemarin aku melihatnya di sini.” Ucap Laila.
Para tentara itu masih bersiap akan menembak Laila.
“Kalian bisa memeriksaku. Aku tak membawa apa-apa.”
Salah satu dari mereka pun berbisik. Sedikit ada senyum sinis di wajah mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba mereka menurunkan senjatanya.
“Siapa nama Ayahmu?”
“Badrussalam.” Ucapnya sambil tersenyum.
Salah satu dari zionis itu, yang tak lain bernama Mascow mengajak Laila.
“Ayo ikut aku!” Ajaknya.
Laila pun mengikutinya dari belakang. Mascow memegang tangan Laila kecil. Dilihatnya banyak sel-sel berisi orang-orang Palestina yang telah mereka tangkap. Banyak di antara mereka yang terlihat tersiksa dan kelaparan. Laila mulai takut ketika melihat mereka semua. Tiba-tiba dia jadi ingin keluar. Di tengah semua itu, seseorang tiba-tiba berisyarat padanya untuk segera keluar. Namun sayang, orang itu terlihat oleh Mascow. Mascow pun langsung memandangnya dan menyuruh seorang pengawal untuk membawanya. Entah untuk apa.
“Mengapa kau membiarkan dia keluar?”
“Dia akan tahu akibatnya.” Ucap Mascow.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras dari arah orang tadi dibawa. Laila semakin tak karuan. Dia menjadi takut. Dia takut akan dipenjarakan.
“Apakah kau akan mengurungku?”
“Tidak. Bukankah aku akan mempertemukanmu dengan Ayahmu?”
Laila diam. Hatinya masih tak sepenuhnya percaya pada yang dikatakan Mascow. Dia semakin ketakutan.
“Aku.. aku ingin keluar dari sini.” Ucap Laila gelagapan.
Mascow langsung memandang keji pada Laila. Laila menggulung-gulung kecil bajunya.
“Bukankah kau ingin bertemu dengan Ayahmu? Diam di sini!”
Mascow pun memborgol tangan kanan Laila ke jeruji besi yang kosong. Hati Laila terus merasa tak nyaman. Mascow pun tersenyum sinis padanya. Dia melihat sebuah arti dari senyum tersebut. Ya, seperti menggambarkan kecurangan. Senyum yang penuh kecurigaan.
Tak lama dari itu, Laila melihat Mascow dan seorang temannya sedang membawa Ayahnya. Terlihat dari wajah Ayahnya, sangat menggambarkan wajah yang lusuh dan lelah. Kedua tangan Ayahnya diborgol oleh mereka.
“Abi!” Seru Laila sambil tersenyum bahagia.
Namun sayang, Abinya tak mendengar seruannya itu. Laila mencoba melepaskan borgolnya. Dia benar-benar ingin memeluk Ayahnya.
“Abi!” Serunya lagi.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
“Lakukan saja di sini! Di sana ada anaknya, biarkan dia melihatnya.” Ucap Mascow.
“Baik.”
Mascow pun menghampiri Laila masih dengan senyum sinis. Laila melihat Ayahnya tertunduk pasrah. Salah satu teman Mascow sedang memasukan peluru ke dalam pistolnya.
“Apa yang akan kau lakukan pada Abiku? Apa?!”
“Kau lihat saja sendiri!” Ucap Mascow masih dengan senyum sinisnya. Tiba-tiba saja mata Laila hampir keluar dari tempatnya. Dia melihat Ayahnya hendak ditembak oleh timah panas. Ditembak oleh temannya. Air mata Laila tak sengaja turun membasahi pipi lusuhnya.
“Abi!” Teriaknya keras.
Ayahnya mendongak. Dia melihat Laila dengan setetes air mata membasahi pipinya.
“Laila,” Desahnya.
Laila menangis begitu pun Ayahnya. Bibir Laila bergetaran. Ayahnya menatap sendu Laila.
“Jangan! Jangan tembak Ayahku! Jangan!” Teriak Laila.
Namun teman Mascow itu sudah siap untuk membidik.
“Sudah Laila. Biarkan saja Ayah.” Ucapnya lembut sambil tersenyum.
“Tidak! Itu tidak boleh! Lepaskan! Lepaskan aku!” Tangis Laila.
Dia benar-benar tak kuasa jika akan melihat Ayahnya sekarang ditembak. Ditembak di depan matanya sendiri.
“Tidak! Abi tak boleh mati. Abi harus di sini.” Desahnya.
Duaarrr!
“Abi!”
Mata Laila melotot. Mulutnya menganga. Dia melihatnya, ya. Dia melihat sesuatu bergetar di bibir Ayahnya ketika timah panas itu menancap tepat di lehernya. Ya, dia mengucapkan “Allahu Akbar”. Dia melihatnya. Seulas air mata turun deras lagi di pipinya. Dia terduduk dengan borgol di tangan kanannya. Dia menangis. Dia benar-benar melihat jasad Ayahnya terkulai lemah di atas lantai yang bau dan kotor. Dia melihat banyak darah mengalir di lantai itu. Darah segar Ayahnya. Ya. Darah segar Ayahnya.
“Abi! Abi!” Isaknya.
“Tidak! Ini tidak mungkin ini mimpi! Tidak Abiku tak mungkin meninggal! Tidakkkk!” Jeritnya.
Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia menggigit keras bibirnya sampai berdarah menahan air matanya. Dia terus menggeleng-geleng.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dia menggoyang-goyangkan borgol di tangannya agar terlepas. Dia tak kuasa dia tak kuasa.
“Cepat keluar!” Mascow pun melepaskan borgol dan menyeret Laila keluar. Laila masih meronta-ronta minta dilepaskan dan memeluk jasad Ayahnya untuk terakhir kali.
“Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku memeluk Abiku! Tidak!”
Dia melepaskan cepat tangan Mascow. Dia langsung menyambar jasad Ayahnya yang berlumuran darah. Dia menangis terus sambil memeluk jasad Ayahnya.
“Abi,” Lirihnya sambil mengusap-ngusap Ayahnya.
Mascow hanya melihat Laila dari kejauhan. Tak dirasakannya, air matanya meleleh setetes di pipinya.
“Bagi mereka, nyawa orang-orang di sekitarku hanya seperti daun yang jatuh dari rantingnya di musim gugur. Begitu mudah untuk menjatuhkan mereka. Sehingga jelas sekali, nyawa itu seperti tak ada harganya.” – Laila.
Laila masih memeluk lutut dan membungkam mulut. Bajunya masih dipenuhi darah Ayahnya. Air matanya berlelehan jatuh membasahi pipi lusuh. Badannya masih bergetaran tak kuasa menahan segalanya. Yaasir merasa kasihan padanya. Dia benar-benar merasakan seperti apa yang dirasakan Laila.
“Sudahlah Laila. Aku tahu kau tak bisa menerima semua ini. Ayo, kau mandi dulu lalu berwudlu. Kita sholat bersama.”
“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya sendiri di sini.”
“Sudahlah, kau masih memilikiku di sini. Kau jangan berputus asa. Kita masih punya harapan untuk menang.”
“Hidup adalah perjuangan. Saat kau merasakan pahit manisnya hidup, banyak rasa yang kita rasakan. Saat kau merasakan getir dan kejamnya hidup, janganlah berputus asa. Dan saat kau selalu terjatuh dan terjatuh, bangkitlah. Kapan pun, di mana pun, siapa pun, dan bagaimana pun, bangkit dan jalanilah hidup. Walau lelah, akan tiba saatnya Tuhan meminta kita pulang dan kembali dalam pelukan-Nya.” – Yaasir.
Yaasir terdiam sambil meneteskan air mata. Air mata tulus dan bening. Melihat gadis kecil itu tertidur, sungguh seperti menahan nafas yang menghembus perdetiknya. Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia sungguh merasa prihatin melihatnya. Gadis kecil, delapan tahun, ditinggal oleh semua keluarganya. Dan baru sekarang dia melihat Laila tidur dengan nafas tersendat-sendat. Dia seperti mengalami gangguan pernafasan.
“Laila, mengapa gadis kecil sepertimu harus seperti ini? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tentang dirimu. Kau sakit. Lebih dari sakit yang kurasa. Lebih dari sakit yang mereka rasakan.” Ucap Yaasir sambil meneteskan air mata.
Dia mengelus-elus kepala Laila pelan. Dia sungguh tak bisa membiarkan gadis sekecil dia tersiksa seperti ini. Ya, tersiksa di atas hidup yang kejam.
“Dia memang seperti itu. Ketika dadanya tertembak timah panas, dia mengalami gangguan pernafasan. Banyak orang bilang, dia mengalami kanker paru-paru. Dia beruntung masih bisa selamat.” Ucap seseorang yang duduk di samping Yaasir.
“Assalamualaikum, kau tahu apa yang terjadi pada anak ini?”
“Ya. Dulu dia tinggal bersebelahan dengan rumahku. Dia sangat ceria. Dulu dia bukan seperti ini. Mungkin dia trauma. Semenjak rumahnya roboh, dan Ibu juga Kakaknya meninggal, dia jadi seperti ini. Namun dia masih bisa tersenyum dan mempunyai harapan untuk bertemu dengan Ayahnya. Tapi sekarang semuanya sudah pupus mungkin. Walau pun begitu, semangat juangnya sangat tinggi. Dia adalah satu-satunya anak kecil yang sangat tegar yang pernah aku temui. Aku tak pernah menemukan gadis seperti dia.”
Yaasir terdiam. Benar, apa yang dikatakan orang itu adalah benar. Laila adalah gadis yang tegar. Hidupnya memang penuh dengan ujian dan cobaan. Walau berat, gadis itu masih punya setitik harapan untuk bisa menjalani hidup. Walau keras, walau kejam dan walau penuh dengan rintangan, namun dia tak punya rasa untuk berhenti dan berjuang demi tanahnya.
“Andaikan aku setegar karang, aku mungkin masih bisa bertahan walau ombak besar menerjang. Andaikan aku seperti kaktus, mungkin aku masih bisa tumbuh walau dalam keadaan yang tandus. Andai aku sekuat batu, bagaimana pun aku di hancurkan, tak akan cepat untuk menjadi hancur. Namun, diriku hanyalah bagaikan sebutir tanah yang selalu diinjak-injak. Diremehkan. Dan tak dianggap. Aku selalu bermimpi menjadi air. Air bisa mengalir bebas ke mana pun dia mau. Dia selalu bersama. Menyatu dengan air-air lainnya. Dan air, selalu menjadi sumber dari setiap kehidupan.”-Laila.
“Yaasir, kau akan meninggalkanku sendiri di sini? Aku ingin ikut denganmu. Ayo kita berperang bersama.” Pinta Laila.
Yaasir pun berjongkok di hadapannya.
“Medan perang bahaya, kau tidak boleh ikut denganku. Jabaliyah aman. Di sana tak aman. Kau tak boleh ikut.”
“Mengapa? Apakah aku akan membiarkanmu tewas di sana? Aku tak ingin kehilanganmu, Yaasir. Kau satu-satunya orang yang peduli padaku.”
Yaasir pun tersenyum. Dia melihat ke belakang Laila. Laila mendongak. Banyak anak kecil seumurannya di sana. Mereka tersenyum manis pada Laila.
“Di sinilah Laila, kau bisa berteman dengan kami.”
Laila pun mengangguk. Dia merasa khawatir jika Yaasir harus pergi tanpa dirinya. Namun dia ingat, Allah pasti akan selalu bersamanya. Juga akan selalu bersama Yaasir.
“Marilah menjadi sebatang pohon. Setiap satu daun gugur, maka akan tumbuh seribu daun setelahnya.”-Laila.
“Mana gadis kecil yang kau sebut Laila itu? Mengapa kau tak mengajaknya ke sini!” Teriak salah satu tentara zionis itu.
“Aku tak akan membiarkan anak itu tewas di tanganmu, hay Zionis Laknatullah! Dia tak mudah untuk kau gugurkan begitu saja! Aku tak akan membiarkannya!”
“Hahaha, apakah kau akan menjadiakan dia istrimu? Umurmu terpaut sepuluh tahun dengannya! Apakah kau takut untuk tak bisa menikahinya?”
“Demi Allah, aku rela mati demi dia. Kau bisa membunuhku sekarang, asalkan berhentilah mengganggu hidupnya. Dia masih memiliki hidup yang panjang. Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya!”
“Aku di sini!”
Seseorang tiba-tiba saja berucap. Yaasir dan zionis itu langsung mendongak. Laila sudah berdiri di sana dengan tatapan keji pada zionis itu.
“Laila kenapa kau di sini?”
“Demi Allah, sampai aku mati aku akan terus membela tanah ini!” Ucap Laila.
Zionis itu langsung mengarahkan bidikan ke arah Laila. Laila masih terdiam berdiri di sana. Yaasir langsung mengarahkan pedangnya ke arah zionis itu. Namun sayang, satu timah panah menelusup tepat di tangan kanannya.
“Arghhh!” Teriak Yaasir.
“Yaasir!”
Ketika dia hendak berlari menuju Yaasir, bidikan itu hampir ditembakan kepadanya.
“Mengapa kau tak menembakannya? Tembak saja aku!”
“Jangan!”
Zionis itu pun perlahan menarik dan akan membidik Laila memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.
“Duaarrrr!”
Suara timah panas menembus dada terdengar begitu mengguruh. Bercak darah segar sedikit terbecak ke arah Laila. Dia membuka matanya. Sudah terlihat zionis yang hendak membunuhnya telah terbunuh di hadapanya. Dia ditembak oleh seseorang. Ya, itu Mascow. Dia telah menembak golongannya sendiri. Dia telah menembak temannya sendiri. Laila merasa aneh, tiba-tiba saja Yaasir memeluk Laila. Laila didekapnya erat. Seperti dekapan perpisahan. Tiba-tiba sebuah peluru menelusup dan masuk lagi ke tangan Yaasir. Namun ini tangan kirinya. Dan peluru itu…
Mascow menatapnya. Ada sebuah air mata yang menetes di sela-sela tetesan air mata mereka. Dia menepuk-nepuk pundaknya. Kini Mascow sudah masuk islam. Itu karena Laila waktu itu. Namanya telah dia ubah menjadi Badrussalam. Ya, Ayahnya Laila. Entah mengapa dia ingin nama itu.
“Sudah Yaasir, ikhlaskan dia. Aku tahu, kau sangat menyayanginya. Seperti adikmu sendiri.”
“Dia memang adikku. Namun aku selalu lupa untuk memberitahunya. Kau mungkin tahu orang yang kau tembak, dia adalah pengawal selku saat itu. Aku sangat menanti kedatangannya. Saat aku bersekolah, aku ditangkap oleh Israel. Aku dipenjarakan ketika Ummi sedang mengandung Laila. Aku sangat ingin melihatnya. Dan kini, saat aku sudah bisa melihatnya, dia malah pergi dariku untuk selamanya.”
“Maafkan aku.” Ucap Mascow.
“Untuk apa?”
“Aku telah menyuruh seseorang untuk menembak Ayahmu.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya. Setelah kejadian itu, Laila jadi sering diam. Namun ketika dia tahu aku akan perang, dia malah begitu bersemangat untuk ikut denganku. Aku benar-benar tak tahu ada seseorang yang akan menembak kami. Aku juga tak tahu jika peluru itu bisa menembus lagi ke dalam dada Laila setelah menembus tangan kiriku. Aku tak tahu.” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Mascow menatap sendu Yaasir. Ternyata seperti inilah penderitaan mereka. Golongannya telah menghancurkan kedamaian di Palestina. Entah bagaimana caranya untuk bisa berdamai. Pasti Israel tak mau melakukannya.
“Aku baru mengerti. Betapa kejamnya golonganku. Aku tak pernah bisa memikirkan bagaimana penderitaan kalian. Seandainya aku lebih tahu.”
Yaasir masih berdiri di tengah malam. Pandangannya lurus menatap langit. Setiap hari dia selalu menatap langit Jabaliyah. Dia selalu menatapnya untuk memeriksa, apakah Nurlaila masih ada di bumi Jabaliyah? Apakah cahaya malam itu masih bersinar terang di langit sana? Walau pun cahaya itu telah mati?
Hatinya bisa percaya. Walau pun daun kuat dan tegar bernama Nurlaila itu sudah gugur dan terjatuh lalu menyatu dengan tanah, namun dia yakin. Semangat juangnya masih tertanam kuat di ujung akar dan akan mengalir menuju daun-daun berikutnya untuk menjadi seperti Laila. Walau Laila hanya tinggal sebatas kenangan.
 lomba ini diikutsertakan dalam http://lomenulis.com/post/56338589530/lomba-menulis-motivasi-pemuda-cinta-by-cyber-dakwah

Aku Sebutir Pasir

Posted by Unknown at 00.07 0 comments


Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata.
Pasir namanya. Gadis yang tak pantas disebut kecil itu tengah berdiri di antara ribuan pasir yang terbaring luas. Entah mengapa orangtuanya menamai gadis itu Pasir. Entah ada maksud apa dalam penamaannya. Tapi sekarang dia malah berdiri seorang diri tanpa seorang pun menemani. Entah di mana orangtuanya yang telah memberi nama Pasir pada dia. Entah masih ada atau pun tidak. Tapi mengapa gadis itu sekarang begitu tampak kucel dan kotor. Dia hanya sebatang kara berdiri di sana. Mungkin dengan bayangannya.
“Pasir.” Desah seorang pria berbaju putih dan terlihat sangat rapi.
Sebutir Pasir itu pun mendongak dan menatap pria tadi yang memanggilnya. Matanya mengamati tiap bagian di tubuh sang pria.
“Pasir. Namamu aneh!”
“Kau siapa?” Pasir mulai mengeluarkan sepenggal kata dari mulutnya.
Pria bergamis putih itu tersenyum.
“Mengapa orangtuamu memberi nama Pasir?”
“Bukan mereka. Aku yang menamai diriku Pasir.” Bantahnya.
Pria tadi tersenyum kembali.
“Lantas mengapa kau ingin nama itu?”
“Kau mungkin tahu berapa banyak pasir di sini?”
Pria itu menggeleng.
“Aku tidak tahu. Apakah perlu aku menghitungnya?”
“Sudah kuduga. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya.”
“Tak ada? Bagaimana dengan Tuhan? Apakah Dia juga tak tahu? Bukankah Dia yang telah menciptakan pasir di gurun ini?”
“Ya mungkin. Kecuali Tuhan.” Ujar Pasir.
Pria bersorban itu tersenyum kembali.
“Lantas, apa maksudmu menamai dirimu Pasir?”
“Di sini aku melihat banyak pasir. Dan sungguh ironis sekali hanya ada sebutir pasir di gurun ini. Dan itulah aku. Aku sangat ironis. Sebutir Pasir. Dan aku juga berfikir bahwa tak akan ada sebutir pasir, pasir yang sendirian. Tak ada kawan dalam hidupnya. Pasir pasti selalu berkumpul dengan pasir-pasir lainnya.”
“Lekas, mengapa kau menyebut dirimu sebutir pasir?”
“Ya karena itu. Aku sendirian. Aku tak punya kawan. Aku sangat ironis.”
“Lantas mengapa kau tak bergabung dengan pasir-pasir lainnya agar bisa menjadi gurun?”
Pasir terdiam. Dia tak bisa mengeluarkan sepenggal kata pun. Mulutnya terkunci rapat. Air matanya dia tahan agar tak pernah keluar.
“Coba kau pikirkan! Tak pernah ada satu pun orang yang mau sekedar bertanya padaku. Tak ada satu pun orang yang peduli terhadapku! Apakah aku bisa bergabung dengan mereka dan menjadi sebuah gurun?”
“Apakah aku bukan seseorang yang peduli padamu? Apakah aku bukan seseorang yang bertanya pada dirimu, Pasir?” Jawabnya tenang.
Pasir kembali terdiam. Kata-kata pria tadi seolah menusuk tajam di dalam hatinya. Namun dari wajah pria itu tak nampak sedikit pun tersirat kecurangan. Wajahnya suci dan bersih. Tak ada setitik noda dosa tersirat dalam hatinya.
“Ya mungkin. Hanya kau yang mau bertanya padaku.”
“Selain aku, bayanganmu juga masih setia bersamamu. Dia selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi. Tapi memang, ada kalanya bayanganmu itu pergi meninggalkan tubuhmu.”
“Kapan?”
“Di saat gelap. Tak ada setitik cahaya pun menerangimu. Dan saat itu tak akan ada siapa pun yang menemanimu.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Mendekatlah pada Tuhan! Sadarilah perbuatanmu itu salah!”
“Aku tak punya Tuhan. Aku tak punya teman. Aku tak punya segalanya.”
“Maka dari itu, dekatilah mereka. Jika kau ingin mengenal Tuhan, dekatilah Tuhan. Jika kau ingin punya teman, dekatilah mereka. Jangan hidup sebutir sepertimu ini. Jangan sia-siakan waktu dengan menyendiri seperti ini.”
“Tak apa. Ini hidupku. Jalan mana pun yang aku pilih, biarkan. Kau tak berhak untuk mengatur apa yang kulakukan dalam hidupku. Hidupku terserah diriku.”
“Memang benar. Tapi apakah aku akan membiarkan seseorang yang tersesat di jalan yang salah untuk tetap berjalan? Tentu tidak. Aku tak akan membiarkannya. Aku harus membenarkannya.”
“Kau siapa diriku? Sebegitu pedulikah kau tentangku?”
“Aku mencintaimu karena Allah. Maka dari itu aku peduli terhadapmu.”
“Siapa dirimu?”
“Aku adalah sebilah kayu.”
“Lekas mengapa dirimu menyebut diri sendiri kayu? Mengapa kau menurutiku sebagai sebutir pasir?”
“Jika kau pasir, aku adalah kayu. Kau mungkin tahu apa gunanya kayu. Kayu berawal dari sebatang pohon. Dan kau mungkin tahu, seberapa berguna pohon bagi dirimu. Apalagi di tengah padang pasir seperti ini. Setelah pohon tersebut ditebang, pasti mereka banyak digunakan. Kayu bisa dibuat meja, kursi dan mungkin sebagai bahan bangunan. Seperti untuk rumah. Kayu juga sangat kokoh. Kayu tak mudah patah. Maka dari itu, aku menyebut diriku kayu. Karena aku ingin menjadi seperti kayu. Walaupun masih jauh sesempurna itu.”
“Mengapa tidak besi saja? Besi lebih kokoh daripada kayu. ”
“Ya. Kau benar, Pasir. Besi lebih kokoh dari kayu. Namun asalkan dirimu tahu, besi melambangkan seseorang yang tangguh namun sombong. Maka dari itu, aku tak akan meniru besi.”
Pasir kembali terdiam. Otaknya dia buat bekerja. Dia memikirkan sesuatu yang mungkin tak pernah bisa dijawab oleh pria itu. Pandangannya menatap ke atas.
“Bagaimana caranya aku mengenal Tuhan?” Tanya Pasir polos.
“Kau bisa belajar dari orang lain.”
“Apakah kau bisa mengajariku?”
“Aku tak punya banyak waktu.”
“Bukankah kayu itu sangat berguna. Pasir itu tak pernah berguna. Untuk apa juga aku mengenal Tuhan.”
“Ish, kau jangan bilang sembarangan.” Tegur pria itu lembut.
“Sebutir pasir memang tak akan berguna jika hanya sebutir. Jika kau bergabung dengan pasir lain, dengan semen, besi, batu, kayu dan air. Kau bisa menjadi sebuah gedung.”
“Kebersamaan?”
“Ya benar. Umat muslim itu seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan. Jika kau sebutir pasir, dan banyak lagi pasir sepertimu, bergabunglah dengan mereka. Setelah itu, carilah orang lain. Seperti besi, kayu, air, semen, batu. Dan bersatulah. Maka kalian akan menjadi sebuah gedung yang kokoh.”
“Jadi aku tak boleh menyendiri?”
“Benar sekali. Kau hanya bisa menjadi sebutir pasir di hadapan Tuhan-Mu. Allah. Kau hanya sebutir pasir di hadapan-Nya. Dan jangan pernah menjadi lagi sebutir pasir di hadapan para manusia-manusia itu. Bergabunglah dan menjadi padang. Bergabunglah dan menjadi gedung.”
“Lalu bagaimana diriku mengenal Tuhan? Allah. Dari siapa aku akan belajar?”
“Kau bisa belajar dari siapa pun yang memiliki ilmu. Ilmu tauhid. Sedari dulu kamu memang selalu berjalan di kesesatan. Maka dari itu, sekarang kau sadari dan segera beralih ke jalan yang benar. Segeralah bergabung dengan orang-orang itu.”
“Tapi apakah mereka akan menerimaku?” Tanya Pasir polos.
Pria itu tersenyum lagi.
“Tentu saja. Mereka adalah orang baik. Lebih baik dari yang kau pikirkan.”
“Jadi sekarang aku harus ke kota itu?”
“Ya. Pergilah. Dan ingat, kau sebutir pasir di hadapan Tuhan. Maka jangan melampaui batas. Tapi kau sama seperti manusia derajatnya di sini. Kau tak pantas sendirian. Kau tak pantas sebutir saja. Di tengah gurun pasir luas seperti ini, sama seperti orang bodoh. Kau masih muda. Jangan sia-siakan waktumu. Masih banyak orang-orang di sana yang sangat membutuhkan waktunya untuk hidup. Maka dari itu, bertakwalah. Dan jalin silaturahmi. Perbaikilah amalanmu. Jangan hidup di tengah kesendirian dan kebimbangan.”
Pasir pun tersenyum. Pria tadi ikut tersenyum. Pria itu pun melangkah menjauh dari Pasir. Pasir menatapnya heran.
“Kau mau ke mana?”
“Masih banyak urusan yang harus kukerjakan. Sebaiknya kau bergabung dengan orang-orang di sana. Mereka pasti menerimamu dengan baik.”
Pasir mengangguk.
Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama sekali merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata. “Ya Allah, Tuhanku. Terima kasih Engkau telah menyadarkanku dari kebodohan ini. Seharusnya aku tak hidup seperti ini. Hanya karena kedua orangtuaku meninggal, aku sudah tak ingat dan kenal pada-Mu. Aku sudah tak punya semangat hidup. Ampuni aku Ya Allah. Sekarang aku berjanji, tak akan ada lagi sebutir pasir di hidupku, kecuali ketika menghadap pada-Mu. Ya Rabb yang Maha Agung.”
Satu tetes air mata keluara dari pelupuk matanya. Bukan kesedihan. Melainkan kebahagiaan. Kini Pasir sudah tak jadi sebutir lagi. Dia akan pergi berkelana mencari teman dan lebih mempelajari tentang Rabb-Nya. Dia mungkin tak akan menjadi sebutir pasir, kecuali di hadapan-Nya. Sang Rabb pencipta.
- SEKIAN -

lomba ini diikutsertakan dalam lomba  http://lomenulis.com/post/56338589530/lomba-menulis-motivasi-pemuda-cinta-by-cyber-dakwah

 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea