Lumpy Space Princess - Adventure Time

Minggu, 04 Agustus 2013

SENJA ITU

Posted by Unknown at 01.58 0 comments


Senja itu, Rina seorang diri. Duduk di bawah pepohonan dan keningnya berkerut, batinnya berlari serta pikirannya berteriak. Dia melihat sekumpulan awan yang sedang berterbangan ke sana ke mari, dalam menyambut sang ratu-nya untuk kembali ke peraduannya. Tampak dedaunan pepohonan sekali-kali menyapanya, dengan cara berguguran dari ranting. Perlahan pula, dedaunan itu berguguran ibarat ditembak musuh dari seberang. Suasana udara di senja itu pun, sangat melankolis. Walau pun keningnya berkerut, Rina tidak terbawa emosi. Batinnya terasa dingin. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dimana, bila Rina sedang dihadapi suatu problem, batinnya meraung-raung dan siap menerkam apa saja bila dilihat dan didengarnya. Bahkan tubuhnya sendiri, pernah disobeki dengan tangannya. Namun, tubuhnya tak sampai berluka.
Pernah suatu ketika, ketika ibunya diomelin tetangga sebelahan rumahnya yang juga masih mempunyai tali pusar dalam rumpun keluarga besarnya, Rina yang sedang berbaring di tikar, daun telinganya menangkap beribu-ribu kalimat yang ditujukan kepada ibunya. Rina beranjak bangun dari pembaringannya dan menuju ke arah ibunya untuk memastikan dari dekat, apa yang sedang dipertontonkan tetangganya itu terhadap ibunya. Rina berusaha menahan kadar amarah, yang perlahan menggigit ubun-ubunnya. Tarikan napasnya tidak beraturan lagi, bak orang gila yang diganggu ke-gila-annya oleh orang normal. Denyut nadi bersama sekompi adrenalinnya beradu kekuatan, di dalam tubuhnya yang siap mematangkan hasil nanakan di tunggu perapian.
“Ibu, manusia siapakah yang mencerca dengan beragam anak kalimat yang sangat mengganggu tidurku?? Katakan!! Entah setan atau Tuhan sekali pun, aku ingin menghadapinya. Kita berasal dari debu tanah, dan tentunya akan kembali pula dalam bentuk tanah. Tanah itu adil. Tanah itu selalu siap dan kapan serta dimana saja, ketika kita dipanggil kembali ke “kandang”.   Aku tidak tega ibu diteriaki tetangga. Aku tidak tega melihat ubun-ubunku terbakar habis, hanya karena amarahnya “setan-setan” jalanan. Dan aku pun tidak akan membiarkan ibu hidup dan berkembang, dihimpit keserakahan “setan-setan” tersebut. Ibu, manusia siapakah yang mencerca dengan beragam anak sungai yang mulai mengaliri amarahku?? Katakan!!!
“Rina, anak Ibu yang baik hati. Tenangkan dirimu. Kuasailah amarahmu. Amarah adalah sebuah bentuk kediktatoran dalam membunuh diri dan masa depan. Amarah juga merupakan “pelacur-pelacur” kecil, yang saban hari mengganggu tangga pemikiran kita. Dewasa dan bijaklah dalam mendengar, melihat serta menyelesaikan setiap problem. Problem membuat kita semakin kaya akan cara-cara dalam menuntaskan problem itu sendiri. Ingat lho, setiap kita mempunyai problem yang telah terisi ke dalam perabotan rumah tangga. Dan tergantung kita-nya saja dalam mempergunakan perabotan tersebut. Masih dikuasai amarah??
“Masih!!” “Bersedia keluar dan berdamai dengan amarahmu itu?? Bersedia berdamai dengan dirimu, lingkungan serta orang-orang yang telah mencerca ibu dengan tidak sopan?? Bersediakah untuk kesemuanya itu??”
“Ibu, maafkan aku. Aku bukanlah malaikat. Aku juga bukanlah Tuhan Allah. Aku hanyalah sebagian dari sisa-sisa “sampah”, yang selalu kemasukan bau busuknya tetangga-tetangga itu. Aku bukan pohon, bila ditebas rantingnya hanya diam dan iklhas diperlakukan seperti itu. Aku bukan putik bunga, bila dihisap madunya oleh sekawanan lebah dan bisanya menangis. Aku bukan kertas, bila dipakai buat menulis secarik kata-kata cinta, hanya tersenyum sesaat. Aku bukan sapu tangan, bila dipakai mengeringkan lelehan keringat dan cuman mengiyakan saja. Namun dari itu, aku hanyalah semak belukar yang tumbuh, bernapas dan memakan. Bahkan, aku pun selalu dimakan ternak-ternak bila dilanda kelaparan sampai tidak meninggalkan sejejak pun, untuk dibuntuti ke manakah kaki-kakinya menorehkan luka yang belum disembuhkan dan telah bernanah bertahun-tahun. Sanggupkah ibu menyembuhkan kesemuanya itu, dengan sebotol betadine dan sepotong guntingan kain kasa?? Sanggupkah ibu mengembalikan ceceran-ceceran darah perawanku, yang pernah tertumpah di tanah ini karena dinaiki lelaki yang tidak bertanggung jawab itu?? Siapakah yang menjual perawanku kepada lelaki itu, demi melunasi hutang piutang?? Ibu, dekati dan sobeklah aku!”

JANJI UNTUK IBU

Posted by Unknown at 01.40 0 comments

Memang kadang hidup tak selamanya akan sempurna dan seindah yang kita inginkan. Tapi apa daya kita sebagai manusia hanya bisa menerima takdir dari Tuhan dan selalu berusaha. Cerita ini berawal dari hidup ku yang hidup dari sebuah keluarga yang sederhana. Orang tua ku memberiku nama Putri, ayah memberi ku nama Putri karena alasan, aku adalah anak perempuan satu-satunya dari dua bersaudara. Aku hidup di sebuah desa di daerah Sumatera Selatan yaitu sebuah desa yang bernama Betung, ayah dan ibu adalah asli orang Komring. Mungkin kalian banyak yang belum tau suku Komring, suku Komring adalah suku asli dari Sumatera Selatan yang sangat kental dengan budayanya.
Memang benar kata ku sebelumnya, hidup tidaklah sempurna dan seindah yang kita inginkan. Itu terbukti orang yang sangat aku sayang dan cinta, yaitu ibuku meninggalkan kami sekeluarga untuk selamanya karena penyakit yang sudah bersarang lama di tubuhnya. Memang berat rasanya untuk terima dan ikhlas dengan kematian ibuku, saat itu aku masih duduk di kelas dua SD. Teringat semua kenangan dengan ibu yang tidak mungkin ku lupakan terutama pesan terakhir dari ibu yang memang terasa aneh bagiku, mungkin ibu sudah merasakan bahwa hidupnya sudah tak lama lagi.
"Menjadi perempuan bukanlah mudah, banyak yang harus kau jaga, tahu kan? Jadi jaga dirimu dan jaga juga adikmu!" kata ibu pada ku saat itu, dan ku hanya menganggukka
n kepala.
"Dan satu lagi, ibadah adalah bekal kita nanti, jadi janganlah kau lalaikan perintah agama." begitu lanjut ibu.
Terkenenang semua kenangan itu tanpa terasa air mata turun dari mata ku mengalir bagaikan derasnya sungai yang membanjiri pipiku. Dalam hati ku berjanji.
"Baik bu semua pesanmu pasti akan teringat dan ku terapkan dalam hidup ku ini."
Telah seminggu sudah ibu meninggalkan kami sedih masih menyelimutiku, kala teringat pada ibu. Terutama saat ku melihat adikku yang masih kecil, rasa iba ku pun menjadi tangis dalam hidupku, akan kah aku bisa membahagiakanya.
"Rohman sini dulu!" panggil ku pada adiku.
"Iya kak Rohman kesitu." katanya.
"Kamu yang kuat ya sayang kakak pasti akan menjaga mu dan menjadi ibu ke-dua buat mu." kata ku pada Rohman.
"Iya kak terima kasih, kapan ya kak kita bsa ketemu lagi dengan ibu? Rohman rindu sekali dengan ibu." tanyanya dengan polos.
Aku yang mendengarpun semakin terpukul dan menangis sambil memeluk adikku erat-erat.
"Sebetulnya kakak juga rindu dengan ibu, tapi sekarang belum saatnya kita ketemu dengan ibu. Tugas kita sekarang adalah menjadi anak sholeh sehingga bisa mendo'akan ibu dari sini."

Hal yang aku takutkan pun terjadi, ayah akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Dengan alasan akan ada yang mengurus rumah sekaligus menjadi ibu baru buat kami. Sempat ku merasa tidak terima dengan menikahnya ayah tapi apa daya, semua keinginan ku pun tak mungkin akan terwujujud. Akhirnya kamipun harus terima kalau kami punya ibu tiri. Seperti yang aku takuti dulu ternyata setelah beberapa bulan ayah menikah dengannya, semua kejelekan dan kekejaman ibu tiri kupun terlihat semua. Aku pun sering dimaki-maki tanpa alasan yang pasti, apalagi dia selalu menjelek-jelekan ku di depan ayah. Ayah yang tak tau apa-apapun sudah pasti memarahiku. Hingga suatu hari ayah memberi keputusan yang sangat ku tidak terima. Aku harus di berhentikan sekolah dengan berbagai alasan yang saat itu sekolahku harus putus di kelas empat SD.
"Sanak bay donti, ahirna begawina dilom dapur, jadi guai api haga sekolah. Lagi pula ekonomi kita mak sanggup haga nyekolahko niku." begitu kata ayah menggunakan bahasa komring yang artinya
"Anak perempuan akhirnya nanti juga akan kerja didapur, jadi buat apa kau sekolah. Lagi pula ekonomi kita tak sanggup untuk menyekolah kan mu."
Aku yang tak berdayapun hanya bisa terima kenyataan dan menangisi keadaan. Sempat ku berpikir apakah semua ini hasutan jahat dari ibu tiri ku, tapi sudah lah nasi sudah menjadi bubur aku harus terima semua kenyataan ini.
Hingga suatu hari merasa diriku sudah tidak berguna jika hanya diam di rumah dan hanya akan membuatku menderita makan hati karena cacian ibu tiriku. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah dan ikut nenek untuk mencari kerja di kota dimana nenek tinggal. Memang berat rasanya apa lagi aku harus meninggalkan Rohman dirumah dengan ibu tiriku, namun harus berani kujalani, kan akhirnya ku bekerja hasilnya untuk adiku juga, agar nasibnya tidak akan sama dengan ku.
"Man, kakak pergi dulu ikut nenek untuk cari kerja" kataku pada rohman sambil menangis, yang saat itu dia duduk di kelas 5 SD.
"Tapi nanti siapa yang menemani rohman, kak? " tanyanya.
"Tenang saja kan dirumah ada ayah dengan ibu ditambah sebentar lagi kita punya adik baru, jadi kamu harus patuh dengan ayah dan ibu." lanjut ku pada Rohman.
"Tapikan jelas berbeda dengan kakak." Rohman menjawab sambil meneteskan airmatanya.
"Sudah jangan mengeluh dan menangis lagi kamu kan laki-laki jadi nggak boleh menangis. Nanti kalau kakak pulang, kakak belikan mainan buat Rohman tapi Rohman harus janji rajin belajar dan ibadahnya tidak boleh lalai, buat kakak bangga!" kata ku pada Rohman sambil menangis.
"Baiklah kak tapi kakak juga tidak boleh menangis lagi dan jangan lupakan Rohman ya?" jawab Rohman.
"Tentu saja sayang kakak akan selalu ingat dengan mu." kataku pada rohman sembari mengusap air mata ku di pipi. Akhirnya aku meninggalkan rumah dan pamit pada ayah dan ibu, teringat selalu wajah Rohman selama di perjalanan tanpa ku sadari air mata menetes dari mata ku.
"Aku harus tegar demi Rohman dan menepati janjiku pada ibu." kata ku dalam hati.

Tanpa terasa, empat tahun sudah kepergian ku dari rumah untuk bekerja. Kadang ku mengambil libur untuk menjenguk Rohman, dan tentu saja gaji yang ku hasilkan dari bekerja ku sisihkan untuk uang sekolah Rohman. Masih teringat saat ku belikan dia mobil mainan yang tidak seberapa harganya, terlihat senyuman kebahagiaan dari wajahnya yang membuatku selalu menangis bila mengingatnya karena kebhagianya adalah kebahagianku juga. Tanpa terasa pula Rohman sudah menginjak kelas tiga SMP, yang berarti dia akan segera lulus dan akan melanjutkan sekolah ke SMA. Sempat aku mendengar percakapan ayah dengan ibu tiriku saat aku pulang ke rumah, bahwa setelah Rohman lulus SMP nanti tidak akan dilanjutkan sekolahnya. Dengan alasan terbatasnya ekonomi, ditambah kedua adikku dari ayah dan ibu tiri sudah mulai mengenyam pendidikan. Jadi kemungkinan besar Rohman tidak akan melanjutkan sekolah. Teringat ku pada janjiku dengan ibu untuk menjaga Rohman, sehingga ku putuskan untuk menyekolahkanya kelak dengan jerih payahku sendiri.

Tanpa terasa akhirnya Rohman lulus dari SMP, mendengar kabar itu aku putuskan untuk libur bekerja untuk beberapa hari. Sesampai di rumah aku mendengar bahwa Rohman menangis karena tidak diijinkan untuk melanjutkan sekolah. Hati ini sangat terpukul mendengarnya, akhirnya aku putuskan memberanikan diri untuk membawa Rohman ke kota untuk aku sekolahkan.
"Rohman sudah jangan menangis lagi, kamu kan laki-laki jadi harus tegar dan jangan mudah nangis!" kata ku pada Rohman yang sedang menangis dikamar.
"Iya kak tapi kan Rohman masih mau sekolah..." katanya sambil tersedu-sedu.
"Ya sudah jangan menangis lagi, nanti kamu ikut kakak  ke kota dan kakak usahakan, kamu kakak sekolahkan." kata ku pada Rohman sembari memeluknya.
"Benar ya kak? Rohman janji akan bantu kakak dan patuh dengan kakak." katanya pada ku.
"Iya tentu saja, nanti kakak yang minta ijin pada ayah." lanjut ku pada Rohman.
Akhirnya aku minta ijin pada ayah membawa Rohman kekota untuk sekolahkan, lagi pula Rohman lulus dari SMP dengan nilai terbaik disekolahanya, jadi akan sangat rugi bila memberhentikan rohman sekolah padahal dia sangat berbakat dan pintar.
Hingga suatu hari aku menikah dengan orang yang aku sayangi. Yang membuat ku bersedia dia menyunting ku, karena dia juga bersedia untuk membantuku menyekolahkan Rohman. Sebut saja namanya adalah Parlan, Parlan adalah seorang lelaki yang sangat berbeda dengan laki-laki lain, yang lebih penting dia adalah imam yang sangat pantas buat keluarga karena dia termasuk orang yang sholeh. Setelah dua tahun menikah kami memiliki seorang anak laki-laki yang kami beri nama Paris. Tanpa terasa juga Rohman sudah lulus dari SMA dengan nilai yang terbaik di Sumatera Selatan. Perasaan bangga menjadi kakaknya memang tak bisa terhitung lagi, jerih payahku menyekolahkanya pun sudah terbayarkan dengan keberhasilanya.
Karena nilai Rohman yang sangat baik itu, akhirnya dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun, karena semuanya sudah ditanggung pemerintah Sumatra Selatan. Sehari sebelum Rohman pergi ke Jakarta aku sempat bicara empat mata dengannya.
"Terima kasih, atas bersedianya kakak menjadi ibu ke-dua buat Rohman, sehingga Rohman menjadi begini." kata Rohman pada ku.
"Sudahlah kakak sudah merasa terbayar dengan semua prestasi yang kau berikan ini." kataku pada Rohman sambil meneteskan air mata.
"Tapi Rohman merasa belum seberapa, dengan apa yang kakak berikan selama ini, suatu hari nanti setelah Rohman menjadi orang sukses, Rohman berjanji akan membahagiakan kakak dan tidak akan ada air mata lagi di hidup kakak." kata Rohman pada ku sembari mengusap air mataku.
Air mata ku pun mengalir membasahi pipi walau telah diusap oleh Rohman, dan ku peluk adikku sampai hati ini merasa puas.
Hari dimana Rohman akan pergi ke-Jakarta pun tiba, sedih bercampur bangga menjadi satu, do'a akan selalu menyertai adikku tersayang yang selamanya akan selalu begitu. Janji pada ibu pun terasa sudah sedikit terbayar, aku harap kelak Rohman dan anakku Paris menjadi orang yang sukses dan hidupnya selalu bahagia. Aku tidak mau, bila nasib orang yang aku sayangi, terutama anakku kelak sama nasibnya sepertiku yang selalu dihantui oleh penderitaan.
 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea