Lumpy Space Princess - Adventure Time

Senin, 29 Juli 2013

Testimoni hati di secangkir rasa

Posted by Unknown at 23.16 0 comments


1/
Bening ,
di kelopak bening pagi ini,
pagi membersamai bening embun,
tetesnya tertahan di pucukpucuk daun
mengembun bening, ;
“ada, senyum nya disitu”
ah, bening, binar mentari,
tersauh, di beningnya pagi,
aku terlarut pendar hangatnya

bening, aku jatuh cinta pada nya, pada bening mata nya dan kekar jemarinya,
ah, bening, selingkar senyumku tertawan di telapak matahari
2/
titis embun pagi ini adalah cerita tentang rinduku,rindu yang terpagar di batang hari,
apakabarnya sayang,pagi ini?
senandung daundaun adalah degubdebur hatiku,
pulasan kabut adalah jejak senyum di raut pipih pipimu yang terlukis di celah pagi,
sayang,
pagi ini, aku merindui,
rindu yang terpinang
rindu yang tak seperti biasa,
seperti rindu senja pada matahari
3/
Senang melihat hujan
titik titik membungkam bumi
mencericis, lewati angin angin
menjejaki tanah tanah rindu
lesat tanpa jeda
gemerincing lincah
meneduh gelisah.
senang ketika hujan menari
gelap menyulam langit,
lenguh daundaun sepanjang ritme,
decit decit
deru mesin mesin
adalah degubdebur bumi hati.
senang ketika hujan
menghujam bumi,
saat siluet senja tertutupi mendung,
saat itu pula teduh matamu ada dihadapanku
menyembul senyum di kanan kirimu
senang ketika hujan,
ku panggil itu,
4/
segeralah pulang,
terlalu buram cahaya lampu untuk dinikmati sendirian
segeralah pulang,
lalu kita duduk berbincang
menikmati secangkir teh kental
segeralah pulang,
malam begitu dingin
untuk mengapit sekerat rindu sendirian
5/
tanpa kita sadari
ada cerita yang mulai terbiasa kita tulis
ketika fajar mulai menyapa pagi,
ketika senja melukis langit sore
hingga sampai pada lilitan angin di pintu mimpi,
ada romansa yang tersaji,
seperti hidangan teh kental dan sebuah poci yang hangat
semua, ada.. baru saja kita menulisnya..
kita tak lagi bicara dalam diam
tak lagi diam ketika ada,
semua ada, tentang
bilangan senyum yang tergantung di celah awan,
menawan, dan, tertawan
semua ada,
di bilangan jemari kekar mentari
kita adalah kata,
dan kita adalah cerita
6/
menyita pandangan mataku, sejauh ini, hati tergelitik ilalang, betapa tidak, lembar halusnya menari nari di daun telinga.
ah, masih ku merinduinya, telapak kekar jemari matahari
seperti, pagi ini….
mengundang riak kemerahan di hamparan biru laut.
bukan sekedar memulasnya, tapi sensasi menggemaskan
KEDIRI, 31 JULI 2013

Cemburui kata itu

Posted by Unknown at 23.14 0 comments



cemburuilah katakata itu, dari puisi puisi deru biru,
hurufhurufnya tersimpan rahasia,
bukan aku,yang mesti kau cemburui,
karena aku bagian yang diciptakan katakata,
aku menari dalam kata,
tersenyum dalam bahasa
menangis dalam kata,
dan cemburu dalam diam,
dan aku jatuh cinta tanpa harus berkata,
cemburuilah katakata itu,
dan ketika aku rindu pun,
bukankah, sudah aku berkatakata,?
cukup,aku dalam kata mu!

Kediri, 31 Juli 2013

SENJA

Posted by Unknown at 23.14 1 comments



Dalam diam
pekat senyap
aku menghitung senyum mu yang terbias di sudut rembang petang
lampulampu mulai dinyalakan
angin-angin berdesir melenting
menyapu rona jingga di wajah laut
pada langitlangit yang berpendar
diam diam ku eja tiap huruf huruf namamu pada pasir basah
bersama gelisah yang meramu sempurna
seluruh bahasa tentang mu adalah pucuk pucuk  rindu,bertunas
kemudian meranum di tiap batang hari
di sebuah senja, dalam lilitan angin musim hujan tahun ini,
aku membawa satu pesan untukmu,
rindu senja yang terpinang
senja yang temaram di kedalaman hatimu
seperti rindu senja yang tak pernah habis pada matahari.
Kediri, 31 Juli 2013

PEMUJA RAHASIA

Posted by Unknown at 22.57 0 comments





 Aku masih setia duduk disini. Setiap hari Rabu pukul 17.00 di meja sudut nomor 6. kedatanganku hari ini mungkin adalah kedatangan kesekian ratus kalinya sejak lima tahun yang lalu. Tidak pernah terpikir untuk melewatkan sekali saja kesempatan duduk di CafĂ© ini kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan. Bagi kebanyakan orang, kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas ini mungkin adalah hal yang cukup bahkan sangat membosankan untuk dijalani. Memesan menu yang bervariasi mungkin bisa menjadi salah satu solusi pemecah kebosanan saat melakoni kebiasaan ini. Tidak bagiku. Tidak juga bagi hatiku. Tak ada kata bosan sedikitpun. Tak pernah terpikir satu kalipun untuk bisa melewatkan kesempatan melihat dia. Pria muda berusia 28 tahun dan berbadan tegap pemilik Cafe ini. Tidak satu detikpun aku lewatkan kesempatan menatap setiap langkah pria itu menuju keluar Cafe favoritku ini.

Kuberitahu, namanya Zain. Aku.. adalah pemuja rahasianya. Bukan sejak lima tahun sejak batu pertama ditancapkan sebelum berdiri utuhnya Cafe ini. Lebih lama dari itu. Nanti tanpa diminta aku pasti dengan sukarela mengotomatiskan pikiranku untuk bercerita. Tentang dia. Tidak terlalu penting. Yang penting sekarang adalah bahwa aku telah mengaku aku mencintainya sekalipun hanya dari sudut Cafe ini setiap hari Rabu.

Dari balik kaca jendela Cafe di meja nomor 6 ini, dengan jelas aku dapat melihat langkah tegasya menuju parkiran khusus miliknya yang diberi tanda ”Parkir Khusus Pemilik Cafe”. Papan itu berdiri gagah tepat di depan mobil jagoar hitam miliknya. Sama seperti pemiliknya, siapapun tahu bahwa mobil itu terawat dengan baik, mengkilap tanpa goresan sedikitpun. Tatapan para wanita yang sebagian besar singgah sepulang kantor tertuju pada satu fokus yang menyiratkan tatapan kagum dan terpesona. Sama seperti tatapanku. Tatapan candu pada pria pemilik Cafe itu. Zain. Kemeja abu-abu yang dipakai Zain sudah lebih cukup menunjang pesonanya. Lengan kemeja yang panjang digulung sampai siku. Kurang maskulin apa? Para wanita yang akan berjalan berpapasan dengan Zain terhenti sebentar dan berbisik dengan teman disampingnya. Zain tak peduli. Aku sudah tahu itu. Sejak dulu aku mengikrarkan diri menjadi pengagum rahasia yang setia pun, dia tak pernah peduli dengan gadis yang menatap bahkan meneriakinya. Meneriaki layaknya bintang yang sedang bersinar.
Di masa lalu, semua orang bisa mengira, pesonanya sama memukaunya. Dia bintang lapangan. Pemain basket pujaan hati wanita. Aku, sebagi penggemarnya nomor satu, tak sekalipun melewatkan pertandingannya. Masih sama seperti saat ini, setia memojok di sudut jarak pandang setiap orang. Aku tak pernah peduli bahwa tak ada yang peduli. Sama seperti Zain yang tidak peduli pada tatapan para gadis di sekitarnya. Kalau memang harus jujur, aku senang dia tak peduli, tak pernah peduli.

Aku menopangkan dagu ketika melihat mobil Jaguar hitam miliknya memudar menjauh dari pandangan. Bukan kali ini saja, aku selalu mampu menunggingkan para wanita yang berbisik tadi kecewa Zain tak menyadari kehadiran mereka. Aku tersenyum. Merasa menang dan tenang bahwa idola nomor satu itu masih sama seperti dulu. Apa yang dia pedulikan? Apa yang mampu mengarahkan pandangannya?

”Ibu, ini minumannya. Selamat menikmati”. Suara ramah seorang pramusaji mampu membuyarkan lamunanku dan membuatku cukup terperanjak karena kaget. Strawberry milkshake pesananku sudah datang. Tepat berada di sudut 180° dari pusat pandanganku. Imaji kesegaran segera menghampiriku. Terbayang nikmatnya minuman yang bahkan belum sempat aku sentuh ini. Tak perlu kusentuh pun, aku sudah hapal diluar kepala. Ini menu minuman favoritku.

”Terima kasih” ujarku singkat sambil melayangkan sekilas senyum pada gadis pramusaji itu.
”ada lagi yang bisa saya bantu Bu?” tawarnya ramah.

”Oh tidak. Nanti kalau memang ada yang ingin saya pesan lagi, akan saya panggil. Terima kasih.” ulangku lagi.

”Selamat menikmati Bu.” ucapnya mengakhiri pelayanan singkat ini. Pramusaji itu berlalu.

Aku menyeruput Strawberry milkshake-ku. Seperti dugaanku, segarnya mengalir melewati kerongkongan. Ada cerita dibalik minuman ini. Mau tak mau untuk kesekian kalinya, pikiranku kembali melayang ke masa tujuh tahun yang lalu. Saat aku masih resmi menyandang status mahasiswa tingkat akhir jurusan Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada, sebuah perguruan kebanggaan masyarakat Yogyakarta. Saat itu, aku duduk sendirian di perpustakaan pusat sibuk menjamah halaman demi halaman buku sumber yang kujadikan acuan dalam skripsiku. Perpustakaan sepi. Langkah kaki terdengar menaiki tangga, langkah kaki yang berat. Bangku berdecit saat digeser dan sesosok tubuh menghempaskan diri pada bangku kayu itu. Tepat berada pada jarak dua meja di depanku. Itu dia. Si idola nomor satu. Tak perlu kupandang dengan jelas, cukup dari sudut mataku aku bisa mengenali dengan jelas sosok familiar itu. Bahkan jika tidak berlebihan, dari bayangannya saja, aku sudah tahu itu dia. Jangan ditanya apa rasanya berada dalam jarak dekat dengan sosok itu. Jikalau bisa, aku sudah mencopot sejenak jantungku keluar dari tubuhku karena debaran yang sangat keras dengan ritme tidak teratur karena itu cukup membuatku lelah walau hanya satu menit saja.

Kucoba menenangkan diri. ”Khansa, Khansa. Tetaplah waras. Bahkan dia tidak akan peduli dengan kehadiranmu.” Begitu kata otakku saat itu. Aku masih bersikap sangat tenang dari luar padahal disaat yang bersamaan organ jantungku yang bekerja diluar kesadaran itu sudah bekerja jauh melenceng dari fungsi fisiologinya. Aku seperti mendadak terserang takikardi karena detak jantung yang mendadak berdebar cepat ini saat kusadari kehadirannya disitu dengan santainya. Aku berdebar namun sangat menikmati kesempatan langka yang belum tentu akan terjadi lagi itu. Masih dari sudut mata yang sebisa mungkin kuusahakan tidak disadari itu, aku melihat dia diam-diam mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya yang sedari tadi berusaha ia jaga seperti menjaga barang yang berharga. Saking penasaran dengan tindakan apa yang ia lakukan, aku melihatnya tersenyum jahil untuk pertama kali sejak aku berikrar menjadi pengagum rahasianya yang nomor satu. Segelas plastik strawberry milkshake.

Wajahnya begitu gembira menatap minuman itu utuh. Aku tidak mampu lagi menahan senyumku dan mengacuhkan setumpuk buku yang ada dihadapanku ketika kulihat dengan wajah bahagia dia menyeruput minuman itu. Dia tidak berhenti menyeruput minuman itu dengan sedotan seakan telah menahan dahaga selama seminggu. Sebagai pemuja rahasia nomor satu, aku merasa beruntung. Aku tahu satu rahasia tentang dia. Dan mungkin itu adalah rahasia besar. Juga, satu lagi alasan lagi untuk semakin menyukainya.

“aduh aduh aduh. ampun pak, sakit pak...”sebuah teriakan kecil terdengar. Kali ini aku tidak malu-malu untuk mengarahkan pandangan tepat lurus ke depan saat mendengar suara gaduh itu. Aku spontan tertawa ketika kulihat Pak Yadi, penjaga perpustakaan, sedang menjewer telinga kanan Zain.

“saya kan sudah bilang, jangan diam-diam bawa minuman kesini. Kamu bandel banget sih dibilangin berkali-kali.” omelan Pak Yadi terdengar ke seluruh ruangan sepi itu. Satu hal lagi yang kini aku tahu, walau aku jarang ke perpustakaan. Aku jadi tahu bahwa Zain sering membawa Strawberry Milkshake secara diam-diam dan meminumnya di perpustakaan sampai ketahuan.


Aku tersentak drau nostalgiaku ketika tanganku yang sedari tadi menyentuh dasar gelas basah akibat tetesan air yang mengalir dari dinding gelas yang dingin mengenai punggung tanganku. Ah, duniaku berotasi hanya pada satu poros yang selalu sama. Zain. Kagumku tujuh tahun adalah waktu minimal aku menghabiskan waktu untuk menjadi pemuja rahasianya yang paling setia. Aku tidak ingat berapa lama tepatnya tapi sudah pasti tujuh tahun ini adalah waktu yang kuhabiskan untuk satu nama saja. Puji aku untuk kesetiaanku sekalipun aku tahu dia tak tahu. Aku kan memang hanya pemuja rahasianya.

Semua rasa bisa datang tapi juga bisa pergi pada pengagum rahasia yang lain. Tapi tidak buatku. Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk membuktikannya. Aku melirik jam tangan hitamku. Nyaris satu jam penuh aku duduk disini. Sibuk dengan kegiatan yang sama dan kebiasaan yang sama setiap minggunya di hari Rabu. Hari dimana dengan jelas aku bisa mengingat dengan rinci setiap detail memori di perpustakaan itu. Hari Rabu ini adalah tepat tujuh tahun sejak hari itu. Aku menamainya, The Milkshake Day. Inilah caraku melakukan selebrasinya.

Mobil Jaguar Hitam yang sejak sejam yang lalu menghilang sudah rapi kembali terparkir di tempat parkiran khusus itu. Dia yang berkemeja abu-abu turun dari mobil. Gagah seperti hari-hari sebelumnya, berjalan ke sisi mobil lainnya dan membukakan pintu mobil. Seorang gadis turun dari pintu mobil itu dengan hati-hati. Aku mengamati dengan seksama tanpa kedipan mata. Zain tersenyum pada gadis itu dan menggandeng tangan gadis berseragam abu-abu itu. Warna yang sama dengan kemeja Zain. Zain tampak bahagia sekali bersama dengan gadis itu. Mereka berjalan masuk berdampingan dalam genggaman tangan yang erat. Aku dapat melihat dengan jelas. Posisiku saat ini adalah posisi yang sangat strategis karena berjarak beberapa meter garis lurus dari pintu masuk Cafe. Tangan kanan Zain menggenggam erat tangan gadis itu sementara tangannya yang lain disimpan dibalik punggungnya. Gadis itu melepas genggaman Zain dan mulai melangkah cepat lurus menuju ke arahku. Aku melayangkan senyuman yang paling manis yang aku bisa. Gadis itu mempercepat langkahnya.

”Bundaaaaaa....” Gadis itu menghambur kepelukanku. Gadis cilik berumur enam tahun yang baru saja pulang dari kursus biolanya ini langsung melayangkan kecupan di pipiku. Dindi namanya. Dengan segala kelincahan yang ia punya, Dindi langsung duduk di pangkuanku.

:”Aduh sayang Bunda udah pulang. Capek nak?” Aku mengusap kepalanya dan menyapu poni yang menutup keningnya. Dindi menggeleng.

”Udah enggak habis ketemu Bunda. Hehehe..” ucapnya polos. Aku mencium gemas pipinya.

”sayang, this is for you..” Sebuah tangan terasa hangat merangkul bahuku dan disaat yang bersamaan sebuket bunga lili putih terhampar di hadapanku. Bunga favoritku. Zain selalu ingat. Walau memberikan sebuket bunga lili di setiap hari Rabu sore adalah suatu kebiasaan baginya sama seperti kebiasaanku duduk di bangku yang sama, tapi ini tak menjadi alasan untuk sebuah kejenuhan. Aku meraih bunga iyu dan tersenyum ke arahnya. Zain balas tersenyum hangat. Dan satu lagi rahasia. Senyum ini adalah senyum yang hanya kutemukan saat ia menatapku dan putri cilik kami, Dindi.

“Kamu selalu tau kesukaanku. Jangan-jangan kamu secret admirerku ya sayang..” ucapnya dan langsung menyambar Strawberry milkshake pesananku. Aku mencubit lengannya dan sebuah kecupan melayang dengan lembutnya di keningku.



 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea