Matahari yang Tenggelam
Aku berjalan terseok-seok di pantai sambil menatap cakrawala biru yang membentang tak terbatas. Langit dihiasi oleh kapas-kapas awan. Pasir-pasir dibawah kakiku terasa sangat kasar, sangking kasarnya mereka seperti sengaja membuatku sakit.
Lalu mataku bergerak kesamping, menatap ombak yang berguling-guling dan tertawa-tawa riangnya. Iri aku kepada mereka! Kenapa mereka begitu senang sedangkan aku tidak dapat menikmati pantai ini? Aku menceburkan kakiku ke ombak-ombak yang terus berguling tanpa henti, aku dapat merasakn lembutnya ombak yang membalut kakiku dan sejuknya sepoi-sepoi yang membisik telingaku. Tetapi tetap saja, aku merasa kesepian.
Aku lalu melihat matahari didepanku, berdiri diatas para laut yang berdansa-ria, tetapi ia sama sepertiku: sendiri. “Matahari!” panggilku, “Kau juga menyendiri seperti aku, apakah kau tidak suka dengan makhluk lain yang terlihat gembira dan tidak bermuram durja?”
Matahari memalingkan mukanya ke aku, matanya sayu tetapi kuat, wajahnya cerah tetapi hangat, ia mempunyai senyuman yang membuat hatiku berlari cepat berdegup keras, aku takjub kepadanya, auranya sangat kuat sehingga mengenai lingkup hatiku. “Apa kau iri dengan mereka?” tanyanya, suaranya dalam dan dangkal, bahkan laut pun tak dapat mengalahi kedangkalanya
Aku bertekuk lutut, mengernyitkan dahiku sehingga kerutannya terlukis jelas dan mendalam, “Aku selalu bingung” kataku kesal seiring angin berhenti meniup diri dan mulai ikut mendengarkanku, ombak mulai berhenti berguling, “Mengapa makhluk lain dapat merasakan kegembiraan? Sedangkan aku disini menyendiri dengan sedihnya? Aku ingin semua makhluk lain merasakan kekesalanku, mereka patut mendapatkan itu!”
Matahari menekuk senyumnya, “Kau telah termakan oleh dirimu sendiri” Ia membalas, “Dengki telah bersarang dalam hatimu, sadarlah duhai manusia! dunia ini dipenuhi dengan banyak kegembiraan dan kehangatan sedangkan kau hanya melihat dengan satu mata, bukalah semuanya! Jangan membiarkan dengki itu membuatmu sedih, karena itulah penyebab sebenarnya”
Aku terperangah, mulutku ternganga sehingga isinya dapat terlihat, tubuhku bergetar sehingga membuatku bertekuk lutut dengan lemasnya, aku menunduk dan merasakan kebenaran matahari, aku segera sadar bahwa selama ini ada pun yang dapat menemani.
“Kau benar matahari” Aku berkata dengan sungguh lemasnya sehabis sadar akan kebodohanku sendiri, “Sepertinya aku tidak melihat semuanya”, Ah…sungguh bijak sang matahari itu! Selama ini ada dia disampingku tetapi aku saja yang melupakannya. Kehangatan hatinya sungguh terpancar, ingin aku bersama matahari selamanya.
Aku beranjak kembali dan berterima kasih kepada matahari, ia membalasnya dengan tersenyum. Selanjutnya, aku berjalan menatapi langit didepanku, lalu duduk disebuah batu karang yang keras, sampai pori-porinya terasa sakit dikulitku.
Tetapi langit bukan biru lagi, ia telah berubah menjadi jingga-kuning, dan aku melihat matahari tenggelam oleh laut seperti termakan olehnya. Pertama ia nampak dan lama-lama ia menghilang, langit pun berganti menjadi biru gelap dihiasi kerlap-kerlip bintang yang jumlahnya tak terhingga. Datanglah bulan, ia seperti matahari hanya sinarnya lebih lemah dan mukanya tampak sangat muram dan sembab.
Aku duduk di pantai sambil menunggu matahari kembali datang, kasarnya pasir tidak menyakitiku, gembiranya laut tidak membuatku dengki, sedangkan didepanku hanya bulan…
Aku tidak menyukai bulan, ia selalu tampak sedih dan selalu mengeluh, beda dengan matahari. “Oh, coba aku tidak mempunyai bolong-bolong diwajahku, mungkin makhluk didunia akan lebih menghormatiku” Ia berkata, lalu melihatku dengan matanya yang sendu dan sembab, “Kau, manusia” Ia berbicara kepadaku, “Kenapa kau duduk saja? malam ini adalah waktu istirahat, tidurlah”
“Aku ingin menunggu matahari” jawabku jujur. Wajah bulan semakin sayu dan sendu, “Lantang sekali kau” Ia membalas dengan sedikit amarah, “Ya sudah kalau begitu, jika kau lebih membutuhkan siang daripada malam, itu urusanmu”, lalu bulan memalingkan wajah dan terus menggerutu layaknya air yang tidak pernah berhenti mengalir.
Langit perlahan kembali menjadi jingga-kuning dan bulan perlahan menghilang ditelan cakrawala, dari laut, munculah matahari yang perlahan naik keatas horizon, wajahnya tampak sama: bijak dan tenang.Aku menatapnya dengan gembira, wajahku yang layu mulai cerah, dan mulutku mulai mengembang keatas menandakan kebahagiaan tiada tara.”Matahari!” panggilku, “Kemana saja kau ini? Aku telah menunggumu!”.
Matahari menoleh, lalu tersenyum hangat seperti biasa, “Bukan aku yang pergi tetapi dunia yang berputar” Ia menjawab, lalu menjelaskan bahwa dunia ini mengelilingi matahari diikuti dengan bulan sebagai peneman, “Setiap hari makhluk membutuhkan tidur nyenyak dan istirahat, dan saat itu kita sebut malam”
“Aku mau kau terus menyinari dunia! tidak seperti bulan yang terus mengeluh!” pintaku
“Tidak bisa, jangan menjadi egois manusia, kau juga butuh istirahat seperti makhluk lain, jika aku terus menerangi dunia maka semuanya tidak akan berhenti bekerja” Jelasnya
Harapanku pupuh, rasanya seperti ingin menangis ke pangkuan ibu, hatiku lesu, “Tetapi bagaimana caranya agar kita tetap bersama?” tanyaku
“Jawabannya berada di hatimu manusia, tidak perlu bertemu untuk bersama selamanya” Matahari tersenyum. Aku mengangguk lalu membalas senyumannya, ah…belajar dari dia memang tidak sia-sia, dan haripun ikut tersenyum dengan kita.
0 comments:
Posting Komentar