SURAT DARI GADIS KECIL DI GAZA
Allah,
di manakah ibuku?
Duri-duri
pasir mengubur semua kehidupan
Allah,
dimanakah ayahku?
Hamparan
pasir nan luas, seolah menutup mata
Allah, di manakah aku harus berdiam?
Ditutup sebuah benteng yang kokoh,
Menahan rasa lapar dan lilitan perut,
Berapa sisa umurku?
Sendiri dalam sepi,
Allah, ingin kuberlari mengejar matahari,
Dengan langkah kaki dan gapai angkasa,
Langkahku terhenti di depan genangan air keruh,
Kupandangi wajah lesuku dari cerminan air tenang,
Mengikis semua kerut-kerut kehidupan
Allah…. Allah…...Allah
Masihkah ada tempat bagiku,
Gadis palestina di dunia ini?
Jika ada, di mana?
Mengapa tanahku telah hancur?
Mengapa? Mengapa harus Palestina?
Allah…
GADIS KECIL DI TEPI GAZA
Palestine. Ayahku yang pemberani Khalid, memberiku nama demikian.
Tak pernah terbesit rasa takut akan nasibnya dan nasibku kelak. Ia tak peduli,
yang ia peduli hanyalah tanah kelahirannya, Palestina.
Sosok Palestine memandangi selembar foto keluarganya yang
sempat ia selamatkan. Sesaat gadis kecil itu berdiri diam terpaku, menatap tiga
sosok manusia jatuh telungkup dan terpendam pasir serta bebatuan dari bangunan
rumah yang disinggahinya. Tepat di kota Gaza, malam hari. Pada akhir tahun
2008, beberapa kota tiba-tiba dihancurkan oleh bom-bom dan rudal yang membabi
buta dari Negara seberang, ISRAEL.
Suara sirine ambulans pun saling beriringan keluar masuk
are Gaza malam hari itu. Benar-benar terlihat kacau dan dalam keadaan genting.
Sementara sesosok gadis kecil berusia sebelas tahun yang sama sekali tidak tahu
apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi, tengah terluka di bagian kepala dan
lututnya itu meringis kesakitan. “Ibu, Ahmed, Zaynab, huhuhu” Palestine
menengadahkan kepala ke atas, tepat pada langit-langit rumah yang tengahnya
telah berlubang. Lubang yang besar dan reruntuhan itu mengenai tubuh ibunya dan
dua saudaranya yang lain.
Palestine jatuh terduduk, sebuah tangan menembus dari
balik reruntuhan, dan Palestine tahu benar siapa pemilik tangan yang menyembul
keluar dari dalam reruntuhan itu. Sebuah cincin yang selalu melekat di jari
manis seorang wanita yang sangat dikagumi dan dihormatinya. Tangan halus yang terbalut dengan balutan pasir, seolah
menunjukkan sebuah tanda bahwa ibunya berada di sana. Gemetar tubuh Palestine
saat menemukan posisi jasad ibundanya yang tak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan.
Suara sirine berhenti tepat di depan rumah. Terdengar
suara langkah kaki petugas bersepatu bot masuk ke dalam dan mencari korban
ledakan bom. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya erat-erat,
takut kalau yang dating itu bersamaan dengan para tentara Israel yang hendak
membunuhnya. Suara langkah itu semakin mendekat dan mendekat. Tubuh anak kecil
itu gemetar. Sosok lelaki itu membungkuk kea rag gadis itu dan menyentuh
kepalanya, “Gadis kecil, aku akan membawa ke pengungsian.”
The Gaza’s
Hospital, malam hari.
Suara dentuman bom dan rudal
diwarnai dengan semburan api yang menghiasi langit Gaza malam itu, menjadi sebuah sejarah tak
terlupa. Terbesit saat gadis kecil itu melihat jenazah ibunya yang baru saja
ditutup selembar kain putih, juga tubuh kedua saudaranya. Menembus sebercak
darah merah segar yang belum mongering itu pada kain putih. Palestine jatuh terduduk tidak akan menangis
sepilu orang lalu lalang itu. Sebab, ayahnya sering berkata kepada dirinya. “Palestine, jika suatu hari
nanti kau saksikan anggota keluargamu mati di hadapanmu, janganlah pernah
sampai menangis sampai suaramu terdengar orang lain. Janganlah kamu ratapi
kematian keluargamu. Sebab jika begitu, artinya kau tidak bisa menerima kuasa
Allah atas taqdir yang telah diberikan kepada kita. Palestine… kau harus bisa jadi gadis yang
berbeda, gadis Palestina yang kuat dan tidak lemah.”
Kedua tangan
kecilnya pun ditengadahkan ke atas seraya berdoa dalam kebisingan itu. “Yaa Allah,
berikanlah mereka ketenangan di sisiMu, aamiin.”
Ketabahan
Palestine itu mengundang seorang pemuda yang kala itu juga baru saja kehilangan
ayah dan ibunya.
“Assalamu’alaikum”
sapa pemuda itu sambil meringis kesakitan menahan sakit di tangan dan lutut.
“Wa’alaikumsalam.”
“Dimana
Ayahmu?”
“tidak tahu”
“Kenapa kau
sama sekali tidak terlihat sedih melihat keluargamu tewas di tangan mereka? Apa kau benar berdarah Palestine? Atau, jangan-jangan kau
berdarah Israel. Tak punya perasaan. Tuduhnya pada Palestine.
Palestine menjawab, “untuk apa aku harus bersedih seperti kamu dan mereka?
Jika aku sendiri pun tidak tahu apakah esok masih bisa hidup. Bahkan, jika aku
mati esok pun, ibu dan dua saudaraku ini tak bias menangisiku. Seseorang, jika
sudah berada di ujung tebing, masihkah ia menggunakan perasaannya untuk
meratapi diri sementara ia sendiri sudah pasti tak akan pernah selamat?
”kau tidak tahu apa-apa, tentara zionis dan yang lainnya. Kau gadis bodoh!”
“yang hanya kutahu, ayahku.dialah yang mendidikku seperti ini.”
Hancur, lebur.
Semua orang di sekitarnya menutup telinga mereka rapat-rapat sambil
menjerit, sedangkan ia, gadis itu hanya berdiri diam terhenyak. Kesedihannya
akan hancurnya sekolah menulikan gendang telinganya seketika, jauh lebih
memadamkan impian dan cita-citanya. Pada janji Palestine untuk sang ibunda
sebelum ini. Gadis kecil itu pernah berjanji pada ibunya, bahwa kelak ia akan
menjadi seorang yang bisa dibanggakan, seorang dokter yang bertugas untuk
menyelamatkan para korban perang dan menolong para pengungsi yang menderita
sakit.
Kandas. Semua impian dan cita-citanya tiba-tiba kandas di tengah di jalan.
Hilang, jika saja dia diperbolehkan untuk berandai. Dan, jika saja ia
dilahirkan sudah dalam keadaan dewasa, tidak menjadi seorang gadis kecil yang
mungil ini. Pastinya, Palestine memiliki kekuatan untuk itu. Sebuah kekuatan
yang tertanam dari dalam dirinya, kekuatan besar untuk melawan.
Namur apa daya? Palestine aníllala Palestine, gadis kecil berusia sebelas
tahun yang dianggap oleh banyak orang tidak tahu apa-apa dan mungkin memang
tidak perlu tahu.
Palestine tertidur di atas mobil pick up, tumpangan khusus untuk anak-anak
Palestina yang terlantar dan kehilangan anggota keluarganya. Hembusan angin
malam hari itu menggelayutkan dirinya untuk sejenak melenas penat.
Tatapan Yanaan, seorang pemuda yang menjadi ketua dari pengurus anak-anak
itu beralih ke arah Palestine yang kala itu baru saja membuka matanya, ia pun
menyapa gadis kecil itu.
“siapa namamuj,gadis bergaun putih? Sebutkan biar aku catat disini.”
”Palestine..”
“Palestine? Siapa yang memberimu nama itu? Kalau kau sudah sampai di kamp,
kau harus mengganti namamu. Kalau kau tiba-tiba bertemu tentara Israel, kau tak
boleh sebutkan nama itu. Kau akan dicelakainya.” sarannya.
”ini nama pemberian ayahku, aku tidak mau menggantinya. Walau harus mati,
aku harus tetap memakai nama Palestine. Agar sewaktu-waktu ayahku bisa
menemukan jasad dan makamku. Aku tidak takut dilukai,apapun itu!”
”siapa nama ayahmu?”
”yahded haidar”
”ah, yahded...? yanaan mencoba mengingat-ingat nama yang disebutkan gadis
kecil itu tadi, tapi belum sempat ia bertanya lagi ternyata sopir yang membawa
mereka ke kamp pengungsian di Jabaliya
meminta mereka turun dan berkumpul mencari tenda untuk tempat tinggal sementara
waktu sampai situasi kota Gaza benar-benar aman.
Puisi Palestine untuk Israel
Palestine, menggugat Israel
Seorang gadis kecil yang menghadapkan wajahnya,
Mengarah ke atas langit, siang hari,
Tak sepantasnya yang harus dilihat,
Oleh seorang gadis kecil, Palestine
Tak sepantasnya...
Di mana bukanlah lambaian dari layang-layang
Yang dihembuskan ke kanan kiri oleh sang angin,
Tapi, sebuah pesawat besar, yang kata gadis itu,
Palestine menjerit kuat
Mengangkat tangannya dan mendongak,
Serunya yang terdengar menggelegar,
”Kalian adalah Laknat!”
Seorang gadis kecil sebelas tahun
Berteriak ”Laknat untuk Israel!”
Seharusnya ia berkata lain, tentang impiannya
Tapi, impian itu telah kandas, bersamaan dengan datangnya hari
Palestine, menggugat dunia...
Dan berkata, ”Laknat untuk Israel!”
”assalamu’alaikum palestine..”
”wa’alaikum salam.”
Palestine baru saja mengikuti sholat berjamaah. Berbekal mukena sumbangan
dari para donatur luar negeri.
”aku masih penasaran dengan nama ayahmu. Sepertinya aku pernah mendengarnya.”
tutur Yahnaan.
Palestine ingat pesan sang ayah sebelum pria bertubuh tegap dan berkumis
lebat itu berangkat dan meninggalkannya untuk terakhir kalinya.
”palestine, jika ada orang asing siapa pun itu menanyakan tentang diri
ayah, dan dia benar-benar tidak kamu kenali, meski dia mengaku menjadi teman
kita, sedarah Palestina, jangan mudah percaya. Jangan katakan siapa dirinya
ayah, berjanjilah Palestine!”
Gadis itu mendenguskan hidungnya dan lalu berjalan pergi.
Yanaan menarik lengan Palestine, ”hei, palestine! Tunggu sebentar!”
Karena merasa langkah gadis itu ditahannya, amarahnya pun mulai meluap dan
geram melihat perlakuan Yahnaan.
”allahuakbar, hai kau! Apa pedulimu padaku? Jangan pernah bertanya lagi
atau kulempar kau dengan batu!”
Pemuda itu terhenyak kaget ketika melihat sikap kasar yang tiba-tiba keluar
dari balik kediaman seorang Palestine. ”’allahu akbar, dia benar-benar
berkarakter gadis Palestina.”
Tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara serdadu Israel. Seluruh orang
kalang kabut, dan segera menaikki mobil pick up. Namun baru saja kaki kanannya
dinaikkan, serdadu mengenai dada Palestine. Palestine terkapar, Yahnaan
menggendong Palestine dengan cepat-cepat. Beruntung dia tidak sampai meninggal.
Setelah serdadu Israel pergi, mereka pun kembali lagi ke Kamp Jabaliyah.
Sosok gadis itu berdiri di atas batu besar sendirian. Berbalut selimut, ia keluar untuk melihat bintang di
langit. Dibawanya kotak musik pemberian dari Abigail, sosok wanita yang tak
lagi ditemuinya. Alunan musik yang menyenandungkan lagu perayaan Idul Fitri.
Tiba-tiba Palestine menangis, merasakan rasa sakit di dadanya dan
terasa sesak. Rupanya, bekas luka dari tembakan itu masih terasa membekas.
Gadis itu terbatuk-batuk di malam hari, suaranya menjadi parau dan serak.
Napasnya pun tak lagi normal seperti dulu karena kekejaman dunia.
Penyakit radang paru-parunya semakin memburuk, apalagi jatah
obat-obatan makin lama makin sedikit dan harus menunggu kiriman bantuan obat
dari luar.
Ketika semua orang tengah digemparkan dengan aksi peyerangan di kapal
Mavi Marmara, pembawa dana bantuan dan kemanusiaan, semua pengungsi Jabaliyah
keluar berbondong-bondong untuk melihat acara berita di televisi pagi itu.
Saat semuanya sibuk dengan rasa sedih serta mengutuk bangsa Israel atas
kekejaman itu, Yanaan sadar bahwa ia tak lagi menemui Palestine, terlihat
cemas. Dimana gadis itu?
”palestine..palestine. panggilnya masuk ke dalam tenda.
Digoyang-goyangkannya tubuh Palestine, namun tetap tidak ada reaksi apa pun.
Bahkan, suara napasnya yang naik turun itu pun tak lagi terdengar.
”Ya Allah, mengapa kau takdirkan demikian jika berakhir demikian? Mengapa
dia mati, sementara ada harapan dari ayahnya yang membuatnya kuat untuk hidup.”
Pemuda itu keluar membopong tubuh kaku Palestine. Moniroth, seorang
wartawan yang Sangay menyayanginya tercengang dan menangis keras.
Dari kejauhan, Fasakh yang baru datang dari Gaza menghampiri Yanaan untuk
menyampaikan sebuah amplop dari bibi Palestine untuk Palestine.
Yanaan duduk berjongkok. “rupanya kau telah menemukan kebahagiaamu
palestine. Hai Palestine. Surat yang kau tunggu dari bibimu datang, kau pasti
tidak menyangka bukan?”
Yanaan membacakan surat itu…
Keponakanku, Palestine. Jika Allah msh memberikanmu kehidupan, kau akan
bhgia selalu. Kuberikan sebuah rumah warisan untukmu di Jordania. Kau bisa pergi resana, katakanlah pada Bibi Fátima dan
serahkan surat ini. Berbahagialah di Yordania.
Selapas Yahnaan membacakan surat itu pada sesosok jasad yang terbalut
selimut. Barulah Fasakh tahu bahwa gadis kecil itu, gadis pejuang intifadah
yang selalu membawa batu di dalam sakunya dan seing berteriak, ”Laknat untuk
Israel!” kini telah mati.
Rupanya, Allah lebih menjanjikan mereka di dalam surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya.
0 comments:
Posting Komentar