Lumpy Space Princess - Adventure Time

Selasa, 05 November 2013

Konstanta Kontinuitas

Posted by Unknown at 04.12 0 comments
Malam ini, ketika sepasang mataku sedang menatap potretmu dalam bingkai kayu, muncul sesuatu hal dalam benakku. Takdir ini adalah sebuah rumusan hidup, begitu pun dengan cinta. Setiap cinta pula mempunyai rumusan tersendiri. Seolah hidup dan cinta harus menghasilkan sebuah jawaban atas perumusan itu. Dengan sebuah angka, variabel, dan konstanta. Begitu seterusnya berulang-ulang, sama, dan kontinu. Seperti itulah yang disebut dengan sebuah cinta. C-I-N-T-A. Sebuah rangkaian rumusan takdir yang diciptakan Tuhan untuk manusia, sebuah variabel yang tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk konsonanitas, kemonotonan, dan jeratan rutinitas teatrikal kehidupan manusia. Tiap -tiap dari kita adalah sebuah konstanta di dalamnya. Menimbulkan perhitungan aritmetika dan kumpulan peluang tentang siapa yang kita cintai dan harus dicintai, yang tak mencintai dan harusnya tak dicintai. Angka-angka mungkin tak kan cukup untuk menafsirkan kadar cinta atau prosentase rasa rindu seseorang yang sedang kasmaran pada pujaan hatinya. Barang kali, berbait-bait kalimat takkan mampu untuk menjelaskan bagaimana kita bisa jatuh hati kepada seseorang, layaknya sebuah soal cerita matematika, sebuah kata-kata sederhana yang di dalamnya terdapat angka, dan di dalam angka-angka itu terdapat jawaban yang rumit.
Semua orang pasti akan sepakat dengan saya, menggeleng-gelengkan kepala, mendecak-decakkan lidah, lalu mengangguk dan berkata, “Iya ya, itu benar”. Tapi itu bukan jawaban, sekali lagi itu bukan jawaban soal cinta. Itu hanyalah sebuah pembenaran rasio atas rasa, akal pada hati. Semua itu akan terus menimbulkan seonggok kalimat tanya — tentang apa, siapa, bagaimana, kapan, berapa, dan dimana. Apa yang saya rasakan ini cinta? Siapa yang sebenarnya saya cintai ini? Bagaimana cinta ini seharusnya? Kapan ini mulai disebut cinta? Berapa besarkah rasa cinta ini? Dan dimanakah rasa ini seharusnya agar bisa mencintai? Sebuah teka-teki silang vertikal dan horizontal tentang cinta yang selalu ku temui dalam bingkai potretmu. Terkadang cinta membuatku mengkonsepkan sesuatu, memvisualisasikan yang riil dan yang imajiner menjadi sebuah bahasa verbal yang abstrak. Berandai-andai untuk membuat diriku makin terkonsep pada kompleksitas dalil-dalil tentang cinta. Sebuah teorema pengantar tidur yang selalu harus berakhir pada sekedar bunga tidur.
Kadang aku juga berfikir, haruskah semudah itu aku menyerah pada sebuah kalkulasi takdir? Menyandarkan semua keyakinan ini pada semua keragu-raguan, ataukah menepiskan ragu dan meyakinkan diri ini sebagai sebuah konstanta yang mampu merubah kalkulasi takdir? Dalam hal ini, setiap dari kita pasti akan berkata: “Atas nama cinta, akulah sang konstanta itu”. Seperti konstanta dalam kesebandingan yang akan merubah hasil akhir dari tiap-tiap jawaban, termasuk jawaban atas takdir cintaku padamu. Kadang kala itulah yang membuatku selalu siap untuk berjuang — memperjuangkan cinta. Aku selalu siap akan segalanya. Siap menang dan menjadi pahlawan, tapi juga jauh lebih besar siapku untuk kalah dan menjadi pecundang. Sesuatu yang selalu menggelitik batinku tentang sebuah rasa pesimis di atas sedikit rasa optimis, atau mungkin lebih tepatnya “pasrah”.

Setiap dari susunan huruf namamu adalah sebuah susunan abjad vokal dan konsonan yang disusun oleh para dewa-dewa. “Hera”. H-E-R-A. Butuh seorang yang pantas untuk menjemput hatimu yang lelah menunggu di persimpangan jalan. Lalu haruskah aku menjadi “Zeus”? Z-E-U-S. Raja para dewa, menggenggam dunia, dan mempersembahkannya kepadamu. Menunjukkan sekelebat atraksi memainkan petir di tangan hanya untuk bisa melihatmu berdecak kagum sambil menepukkan kedua telapak tangan dengan anggun, menyunggingkan senyum malu-malu seorang dewi, ratu para dewi. Menggenggam tanganmu yang layu melambai-lambai. Menyatukan dua hati kita dengan kalimat-kalimat magis dewa-dewa di kerajaan langit. Pemandangan diskrit itulah yang selalu ingin kujejalkan dalam sepasang mataku ini, menambah perbendaharaan momen-momen spesial dalam hidupku.
Namun kembali lagi aku tersadar dari angan-anganku tentang siapa aku. Pesonamu sungguh tidak dapat ku jangkau dengan materi, dengan kata, dan terlebih dengan angka. Sekalipun aku adalah Phytagoras. Dengan teoremanya yang dapat menghubungkan kita dalam sebuah bangun datar bernama segitiga—segitiga siku-siku. Dua titik yang segaris dihubungkan oleh satu titik di atasnya; dua insan yang berstatus hamba, dipertemukan karena satu titik, karena Tuhan. Tapi sekali lagi, ada yang mengganjal dalam rangkaian perjalanan pikiranku untuk menembus relung hatimu. Hypotenusa. Sebuah garis miring dalam segitiga siku-siku cinta kita. Sebuah garis yang teramat sulit bagiku — yang hanya seorang pengagum Phytagoras — untuk menujumu. Mungkin tiap-tiap dari kalian yang melihat sikap saya akan menggeleng-gelengkan kepala, memanyun-manyunkan bibir, menghembus-hembuskan nafas, dan berkata, “Hah, payah, payah”.
Cintaku tak semudah itu, Bung. Cinta ini bukan cinta Mimi dan Mintuno, Paimi dan Paimo, atau Sarmini dan Sarmino, ini soal cinta Hera dan Heru. H-E-R-A dan H-E-R-U. Bukan sebuah cinta yang mudah ditukar dengan berlian berdigit enam yang melingkar di jari manis. Atau kuda besi berdigit sembilan yang di minumkan pertamax. Atau pula di gadai dengan megahnya bangun ruang bervolume besar, di digit dua belas. Karena faktanya tidak satu pun dari digit-digit itu yang aku punya, selain beberapa lembar kertas dengan angka berdigit empat dan lima, bahkan lebih sering berdigit tiga atau dua. Tiap digitnya merujuk pada kumpulan angka–angka dari himpunan bilangan real, bahkan lebih real dan nyata lagi dari yang terbayangkan.

Seketika bayang-bayangku atas potretmu terhenti. Ketika malam telah semakin larut, memunculkan angka di dinding hati yang carut marut, dalam pikiran yang berlarut-larut. Seolah semua itu merayuku untuk menutup bingkai potretmu, dan meninggalkannya sendiri dalam bayang-bayang di sudut kamarku yang paling gelap. Tubuh ini mungkin bisa lemah, mata ini pun bisa lelah, tapi tidak untuk hati ini. Cintaku tak sekali pun akan lemah dan lelah untukmu. Cinta seorang Heru. “Heru dan Hera”. H-E-R-U dan H-E-R-A. Seperti sebuah konstanta, berharga mutlak, tak berhingga, begitu seterusnya berulang-ulang, sama dan kontinu.

Selera Humor dan Harga Diri Keluarga Mbah

Posted by Unknown at 03.52 0 comments
Aku terlahir di tanah ini, di tanah yang dibilang subur ini, sebagai bagian keluarga besar masyarakat Indonesia yang punya selera humor tinggi. Bukan hanya itu, selain rasa humor, mbah-mbah ku dulu juga orang-orang yang paham benar dengan apa itu yang namanya harga diri. Saat mereka masih muda sepertiku, mereka berjuang mati-matian hanya untuk membela satu makhluk bernama harga diri sebagai bangsa yang berhak merdeka. Jargon mereka yang sampai sekarang masih terniang-niang di telinga anak cucunya termasuk aku adalah merdeka atau mati. Mungkin sedikit berbeda jika kudengar cerita tetanggaku, nenek moyangnya dulu lebih memilih merdeka bersyarat sebagai negara persemakmuran hanya karena tergoda iming-iming akan berbagai fasilitas asal mereka nganut dengan negeri induknya. Dan mungkin karena kenganutan – kepatuhan itu membuat tetanggaku itu kurang tau dengan humor – sama sepertiku.
Sebagai manusia normal, dalam otakku sudah pasti terinternalisasi untuk mencintai tanah kelahiranku. Tapi aku ragu, mungkin aku tidak begitu cinta dengan tanah lahirku. Nyatanya, aku masih saja iri dan ingin hidup di tanah tetanggaku yang punya banyak fasilitas itu, aku disini masih sering mengeluhkan buruknya fasilitas meski bahan baku apapun tersedia di tanah lahirku ini. Aku kadang iseng, menggerutu dalam hati – “kenapa mbah dulu kau berjuang mati-matian untuk membela harga diri sebagai bangsa yang layak merdeka, kenapa tak kau serahkan saja bahan baku tanah lahirku ini pada Belanda untuk mereka kelola dan kita bisa mencicipi sedikit masakan hasil olahan mereka, toh aku sekarang lebih suka burger olahan Amerika daripada gaplek buatan mak, – toh tetanggaku kini hidupnya enak, mapan, tercukupi dengan hanya bersedia menyerahkan harga diri mereka dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Dan, toh seandainya engkau hidup sekarang – dan melihat betapa buruknya aku, betapa aku tak paham tentang harga diri sebagai bangsa yang dulu mati-matian engkau perjuangkan, kau mungkin menyesal mbah berjuang mati-matian demi anak cucumu, demi aku – kau akan marah melihatku karena aku hanya mengingat cerita heroikmu merebut kemerdekaan saat tanggal-tanggal tertentu – dan aku hanya mengingatnya sebagai cerita, bukan untuk kuteladani sebagai prilakuku sehari-hari. Dan akhirnya, kau hanya berucap sinis padaku ‘Sudah dibelain mati-matian, malah ngedhumel – nyalahke, gak tau diuntung, diwei ati njaluk rempelo, bocah ndhablek!!!”
Keluarga besar masyarakat tanah lahirku punya selera humor yang tinggi, tapi tidak bagiku – aku tidak mewarisi ini dari mbah-mbahku, aku tak punya satupun lelucon untuk kulontarkan padamu, tapi aku selalu ikut tertawa jika mereka tertawa. Mereka tetap bisa tertawa dalam keadaan apapun, saat krisis global mereka masih bisa tertawa, – bahkan makin ngakak, dilanda bencana pun masih saja membuat lelucon – bu LSM, mas Ormas, mbak Partai, pak Pemerintah ramai-ramai datang memberi mereka bantuan dengan menancapkan bendera di sekitar tenda pengungsian, dan keluarga besar tanah lahirku itu menyambutnya dengan tersenyum sinis “terima kasih pak, bu, mbak, mas, lain kali benderanya lebih besar lagi – biar semua orang tau kalau kalianlah yang pernah membantu kami“. Jangan tanya kehidupan sehari-hari keluarga besar tanah lahirku itu, mereka seringkali saling mentertawakan saat salah satu anggota keluarga menciptakan karya, “ah, mobil buatan lokal – bagus sih, tapi kualitasnya paling-paling bertahan satu dua tahun, hehe, harga jualnya pasti merosot, onderdilnya juga pasti mahal, mending beli yang pasti aja deh daripada beli mobil geje”. Dan sekarang selera humor mereka makin tinggi dengan banyaknya tayangan komedi di TV tiap harinya yang dibiayai sponsor dengan nilai sangat mahal, yang mungkin biaya acara komedi itu cukup untuk menyumbang subsidi pendidikan tiap bulannya. Sarkasme, penghinaan harkat, rasisme, pelecehan HAM, sudah menjadi sebuah kewajaran jika dilakukan saat sedang melucu, karena keluarga besar tanah lahirku sudah paham benar dengan apa itu harga diri, beda denganku – aku masih menganggap itu sebagai hal yang tabu. Tapi bagimu yang berprofesi sebagai guru, jangan sesekali melontarkan kata-kata berbau sarkasme, rasis, dsj saat mengajari putra-putri keluarga besar tanah lahirku, sekalipun kau hanya berniat melucu – menghilangkan kejenuhan dalam kelas, kau akan segera dituduh melecehkan HAM dan kau akan dilaporkan pada pihak berwajib.
Bagaimana denganku? Aku belum tahu apapun tentang humor dan harga diri. Aku memilih menjadi seperti ikan mati – mengikuti arus air. Kalau keluarga besar tanah lahirku tertawa, aku ikut tertawa, kalau mereka marah, aku juga ikut marah. Kalau kapal tetangga tanpa ijin masuk wilayah tanah lahirku, aku ikut merasa marah dan geram karena aku lihat keluargaku juga demikian. Kalau tarian, musik, ataupun wayang warisan mbahku diklaim tetanggaku sebagai miliknya, keluarga besar tanah lahirku sudah pasti marah besar, dan aku juga ikut marah besar, meskipun aku sendiri tidak tahu tarian apa itu, musik apa itu, apa sih wayang, lah wong aku lebih suka yang dari kebarat-baratan biar dianggap modern kok – tapi gak apa lah, yang penting ikut marah biar gak dituduh sebagai penghianat bangsa.
Kadang aku juga bingung dengan keluarga besar tanah lahirku itu. kalau hal-hal yang menurutku jarang mereka gunakan dalam keseharian diklaim tetangga, mereka marah besar. Tapi, kalau hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan sehari-hari dikuasai tetangga, mereka justru mendukung. Dan aku pun juga ikut mendukung, selain karena ikut-ikutan, mungkin juga karena aku suka kebarat-baratan yang modern itu. Kalau disuruh milih, aku lebih suka belanja di supermarket modern yang kebanyakan milik tetanggaku itu daripada belanja di pasar tradisional milik keluargaku sendiri, lah keluarga besar tanah lahirku sendiri juga suka belanja di sana. Melihat sikap keluarga besar tanah lahirku seperti demikian, aku menjadi lebih tidak paham lagi dan bahkan sudah lupa pesan mbah-mbahku agar aku mencari tahu arti kata harga diri yang dimaksudkan mbah-mbahku dulu. Maaf, mbah – aku bosan mengingat cerita heroikmu berjuang mati-matian demi harga diri. Aku lebih tertarik mencari arti kata humor di google daripada menelusuri lembaran kamus untuk mencari arti kata harga diri. Maaf, mbah.

sedetik memori

Posted by Unknown at 03.46 0 comments
Ada satu masa dimana manusia menginjakkan kaki di muka bumi dengan angkuhnya.
Tak kusanggah, termasuk Aku.
Entah harus aku sebut apa diri ini kala keangkuhan itu datang setiap ada bagian dari diri yang lebih dari orang lain di sekitar.
Aku sampai heran dengan orang yang tingkat kesabarannya melebihi batas untuk tidak menyombongkan diri..
Karena, menurutku menyombongkan diri itu asyik..
Bagaimana tidak, kita dikaruniai hal terlengkap dari makhluk yang lainnya,
bahkan menyombongkan diri bila ditempatkan pada sisi positif, hal yang baiknya adalah mendorong kita agar terus berpositif diri pada diri kita, tidak menyianyiakannya, tidak merendahkannya hingga tidak menyesalinya lahir ke bumi ini.
Bahkan sampai saat ini ada hal yang tidak mampu dijangkau logika yang dikaruniakan pada diri ini yang patut disombongkan dengan perwujudan yang bernama ‘syukur’. Yaitu, Aku diberikan kesadaran bahwa lawan jenis merupakan hal yang sulit dihindari kala ada hasrat yang bergejolak menunggu dasar dari lubuk hati mengering dan butuh penyegaran..
Biar kuperjelas, lawan jenis saat ini menjadi prioritas utama yang selalu mendorong kita untuk terlihat lebih baik dari orang di sekeliling’nya’ sehingga (dia) hanya ‘stak’ untuk mengagumi dan tak menyesali satu hal pun dari kita.
itu mungkin lebih terhenyak untuk yang berjenis kelamin seperti Hawa.
ya.. karena aku tau bahwa kaum Adam cukup memiliki ego dan gengsi yang kurang dipahami skala kaum hawa.
Cukup menarik semua yang terjadi pada diri ini, tak terkecuali makna hidup yang kucari sampai saat ini..
Tapi kenapa selalu saja ada yang memaknai hidup sebatas hidup yang ternyata tumbuhan pun hidup, bekerja yang ternyata hewan pun bekerja. Sesempit itu kah? atau adakah hal lain?
Aku masih sayup-sayup mendengar kata hati.. kemudian hening..
Masih disibukkan aku oleh jejalan pertanyaan akan apalagi yang harus kusombongkan. Tapi kini aku diam, bahasa ini tak lagi sanggup dimuat lisan atau logikaku yang sampai detik aku menulis ini pun masih tak bermuara.
Tidakkah ada jalanku yang sanggup membawa aku pada perbendaharaan hati untuk mampu membenahi diri bukan jadi aku yang masih mempertanyakan ‘siapa Aku?’ dengan wajah polos mengabaikan apa yang aku tahu.
Saat ini aku berjalan di antara lentera yang menerangi desa dengan sandalku yang penuh lumpur. Pikirku, ‘alas kakiku saja sudah penuh lumpur, apalagi aku yang hanya berjalan dari lentera satu ke lentera lain. Apa masih salah jalan yang diterangi lentera ini? masih belum benar kah? Tersesat kah Aku?’
Kesombonganku diambang waktu yang membatasiku untuk tidak lagi menyentuhnya. Kuabadikan sombongku dengan menggubahnya menjadi syukur..
Ada arti yang belum terpahami seluruhnya, bahkan jika aku mati di pelukanNya..
karena Lentera itu sudah tergantikan oleh ‘Lampu di Gelapnya Kamarku’…
*Sebuah kenyataan, bahwa kutulis ini hanya di diaryku, sudah usang lalu kubuka kembali

GADIS BERPAYUNG SENJA oleh Desty Lilian

Posted by Unknown at 03.41 0 comments


Senja di langit Kediri, awal bulan september entah tahun ke berapa…
Kau tau, mendung di kala senja itu selalu saja membuat otakku menambahkan kayu untuk memanaskan tungku perapiannya, setidaknya ia menghangatkan aura-aura suci yang berseliweran hadir agar mereka tak terbeku oleh kedangkalan hasratku. Oh, mata itu, yang kusebut ia mata cinta, selalu memberikanku imaji-imaji liar dan tak terkendali. Kau tau, saat mata cinta itu menusuk tajam ke dalam pandangku, mataku semakin sulit membedakan kerlingan awan yang membawa berkilo liter air surgawi yang tak lain dari daratan semu, dengan tatapan tajam cahaya petir yang menyibak memecah tirai langit yang mendung di kala senja.
Gadis itu, selalu hadir saat aku menanti asa, saat aku menanti mendung menyibakkan tirainya agar ku lihat keemasan cahaya mentari yang kan tenggelam di bawah horizon. Sialnya, mendung tak pernah bolos memayungi langkah gadis itu, sekedar kau tau, dialah pemilik mata cinta yang kuceritakan tadi. “Oh, cantik, aku sungguh menyayangimu. Tapi ku ragu, aku tak yakin aku benar-benar menyayangimu. Saat pandanganku masuk jauh ke dalam mata cintamu, berbagai hasrat menjilat-jilatkan ujungnya lalu mereka menggoreskan lukisan abstrak nan luas dan indah dalam pikiranku. Bukankah ini hanya perasaan ingin memiliki saja? Entahlah, semoga tidak…”, batinku tersiksa oleh kehadirannya, semakin ia mendekat, semakin aku berada di tepian jurang, sebuah titik antara hidup-mati, antara tenggelamnya mentari dengan pekatnya mendung di kala senja. Titik keraguan.
Memang tak akan pernah lelah, buaian, belaian frase indah menghiasi suaranya setiap kali kami bertukar komunikasi. Aku menggadaikan sedikitnya berkilo keyakinan tiap detik hanya untuk merasakan buaian kata-kata manisnya, kugadaikan bagai setetes air yang demi detik mendegradasi partikel besi, dan korosi akhirnya menghantui. Gadis bermata cinta itu selalu muncul di tepian senja, membuat wajahnya buram – kontras oleh warna keemasan mentari yang bersiap sembunyi. Dan mendung, entah siapa gerangan mendung, seperti seorang kekasih, mendung selalu melindungi langkah gadis itu di kala senja, dan saat berpayung mendung wajah gadis itu akan bercahaya cerah mengalahkan cahaya keemasan mentari silaukan mata.
Terkadang, dan terkadang memang benar dari pandangan kebenaran subyektifku sendiri bahwa seperti yang kebanyakan para tetua nasehatkan kalau cinta bisa membutakan logika. Gadis berpayung mendung senja itu sesekali menyibakkan sedikit payungnya sehingga sinar keemasan mentari senja mengintip di samping wajahnya. Yang masuk dalam konsep pikirku atas apa yang kulihat kala sinar mentari senja mengintip di samping wajahnya, adalah dua mentari senja sedang bersiap sembunyi dalam singgasana peraduan. Gadis itu tersenyum, aku hanya mendengar suara mistisnya, sementara imanku goyah untuk memilih satu sinar mentari yang benar-benar bersiap tiap harinya mematuhi siklus alam. Dua sinar mentari harus diseleksi, satu sinar datang dari wajah gadis berpayung mendung senja, satu sinar lainnya datang dari senja itu sendiri.
“Hahahaha…” ia tertawa melihatku gundah. Ini sudah hampir larut malam, tapi mentari masih berada di duniaku, dunia antara mimpi dan nyata. Sinar mentari senja masih hadir, datang dari wajahnya yang semakin merayu hasratku. Aku tau, ini hanyalah sinar semu yang terpancar dari keceriaan wajah seorang gadis yang kucinta, atau lebih tepatnya yang kuhasrat-cintai. Aku tau, ini adalah waktu larut malam, bukan antara siang-malam, bukan antara mendung dan kecerahan langit. Tapi, cinta, cinta membuatku mencumbui keindahan perasaan, perasaan yang tercipta di kala senja, di kala ia menyapa, saat ia tertawa dalam kegundahanku bersamanya. “Hahahaha… Dosa yang terindah” satu gema menyahut di bekas tempat perpisahan siang dan malam. Gadis itu mengerlingkan mata, mempesonaku lalu ia melambaikan tangan menembus larut malam.

“Hei, jangan kau pergi, jangan pergi dulu….” aku mengingau selalu seperti itu, pun kusadari pagi telah menjelaskan cahaya sejati, pun embun suci menetesi mataku yang setengah terpejam. Hari-hariku keruh oleh imaji buta tentang gadis itu. Tubuhku agaknya lebih senang untuk diajak bermalasan di bawah rindangnya pohon mimpi. Kupaksakan beranjak, ia melawan, “sedetik saja sebentar…” rayunya, kuturuti, ku ajaknya pergi, tapi tubuhku merayu lagi dengan berbagai alibi logis, begitu seterusnya sehingga aku kalah dengan nafsu hewani tubuhku sendiri. Seharian aku menenangkannya di bawah pohon mimpi, daunnya melambai-lambai mengantarkan sepoi angin membuatku semakin betah memanjakan diri di sana.
Senja tiba, tubuhku meloncat kegirangan. Ia menyeretku menemui tempat pertemuan siang-malam. Mendung tak hadir sore ini, pertanda gadis itu juga tak hadir. Pupus, perasaanku membaur mengiringi cahaya keemasan mentari senja yang menikahkan siang dan malam di ujung horizon. Perasaan yang memburamkan batas antara semu-nya keindahan mimpi dan jujurnya kenyataan. Aku menjadi saksi pernikahan siklus alam itu, hingga aku benar-benar menyadari pernikahan itu hanya berlangsung beberapa detik. Sang malam telah menelan siang, dua sejoli itu menikmati kebersamaan hanya beberapa detik, atau bahkan tidak sedetik pun mereka bercumbu, hanya nisbinya khayalku yang bersaksi atas pernikahan itu.
Aku beranjak pulang menidurkan diri. Detik-detik waktu terdengar jelas mengalun memainkan nada memancing khayalku tentang gadis berpayung mendung senja itu. Malamku tak lagi sejelas malam-malam sebelum ku bertemu dengannya. Gadis itu membawakan siang dalam malamku, dan menidurkanku di kala siang. Tak jelas lagi kapan aku berada di waktu siang, kapan aku bersua malam. Yang kupahami hanyalah waktu senja, aku benar-benar paham jika aku selalu berada dalam senja, begitulah menurut khayalku. Aku benar-benar terobsesi dengan waktu senja. Setiap detik pergantian waktu, kuhabiskan sisa hanya untuk menanti kedatangan senja, menjemput pujaan hatiku – gadis berpayung mendung senja.

“Hai … apa kabar?” sapanya menyadarkanku yang tengah tertidur di bawah rindangnya pohon mimpi pagi itu, oh malam itu, entahlah, aku bingung. Yang jelas sudah lama sekali aku menantinya, menanti senja menyapaku hingga tak tersadar bahwa setiap waktuku berada dalam senja. Senja seperti ini yang hanya kunanti, senja yang melangkah dari balik batas horizonnya seorang gadis berpayung mendung. Tubuhku menggelinjang hebat merasakan dahsyatnya sensasi energi momentum romansa dua sejoli.
Aku menjemputnya, tak peduli lagi siang atau malamkah saat ini. Ku berlari menerjang batas, melangkahi horizon samar tak berujung itu demi rasa yang kusebut cinta. Ia menanti tepat di batas antara siang-malam, seperti seorang penghulu menikahkan kedua mempelai siklus waktu. Mentari senja di sampingnya menjadi saksi pernikahan waktu, sementara gadis itu tersenyum melihatku berlari menjemputnya. Ia membuang mendung senjanya, menampakkan padaku wajah aslinya. Berada di samping mentari senja membuatnya masih terlihat bersinar, pun payung mendungnya telah ia buang. Seperti cahaya mentari di kala senja, bersiap menikahkan siang-malam dan memisahkannya kemudian, gadis itu memberi penawaran : “Melangkahlah padaku sayang, pilihlah siang atau malammu, ku ingin kau menjadi imamku siang-malamku, dunia-akhiratku, pilihlah waktumu sebelum senja benar-benar memisahkan kita sekejap perpisahan siang-malam…” Aku hanya tertegun mendengar ucapannya. Aku tak memilih, karena ku tau sedetik atau bahkan sepermilyaran detik kenyataan malam akan segera menelan siang, tak kan berubah meski aku bersikukuh memilih siang. Aku hanya menikmati wajahnya, kusadari, aku telah menikahinya lalu melepasnya hanya dalam waktu sepersekian detik. Sekejap waktu kebersamaan yang cukup untuk membuat seumur hidupku tak bisa melupakannya.
Cintaku, bagaimana dengan perasaan itu? ia tak pernah padam, kusimpan dalam kesucian nurani agar ia tak ternoda lagi oleh keraguan senja. Aku tetap menanti senja setiap hariku demi mengenang pernikahan dan perpisahanku dengan gadis itu. Ku yakin, ia juga selalu setia mengenang masa itu seperti kesetiaan mentari senja yang tak lelah menjalani rutinitas menikahkan dan menceraikan siang-malam agar cinta manusia selalu mengingat momen itu sebagai tanda Kebesaran Pencipta. Agar manusia sadar cinta pada sesamanya selalu akan berujung perpisahan nantinya, agar manusia sadar cinta semu itu bermuara pada ketetapan waktu Sang Pemilik Waktu. Hanya sepermilyar, sepertriliun, dan tak terhitung seperberapa detik siang-malam menikmati cumbuan kasih sayang lalu dipisahkan, tak membuat mereka berpaling dari hukum alam. Begitulah kuusahakan selalu agar aku bersikap realistis terhadap siklus waktu, agar cintaku pada gadis itu selalu terjaga tanpa melanggar batas hukum alam agar semesta tak menangis penyesalan hanya karena melihat cinta buta manusia yang tak disadari telah mengacaukan semesta, meski seringkali aku melanggarnya sendiri demi bersua dan bermesra dengan gadis itu sekejap waktu. “Sayang, semoga kau memahami bagaimana perasaan cintaku. Maafkan kemunafikanku yang tak berani memilih siang malammu, sekedar kau tau, bagiku beginilah caraku mencintaimu – agar cinta kita tak sebatas pernikahan semu, agar kesetiaan mengantarkan kita membedakan kesejatian siang-malam sesunggunhnya, aku selalu mencintaimu, sayang…” Ia berlalu pergi, menghilang di balik kegelapan malam. Setetes air matanya tertinggal dalam saku kenanganku, aku simpan rapat-rapat dan kutempatkan di tempat terindah di hatiku. Suara perpisahannya masih mengiang-ngiang di telingaku. Gadis berpayung mendung senja itu menyadarkan diriku bahwa aku benar-benar masih berada di waktu senja. Dan aku masih akan mengenang senja, mengeja kata-kata yang terselip di antara quark sinar surya, menanti malam menelan siang hingga aku benar-benar sadar aku telah tinggal dalam kegelapan malam, atau aku tersadar bahwa aku telah berjumpa lagi dengan sinar pagi.
 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea