Lumpy Space Princess - Adventure Time

Selasa, 05 November 2013

Konstanta Kontinuitas

Posted by Unknown at 04.12
Malam ini, ketika sepasang mataku sedang menatap potretmu dalam bingkai kayu, muncul sesuatu hal dalam benakku. Takdir ini adalah sebuah rumusan hidup, begitu pun dengan cinta. Setiap cinta pula mempunyai rumusan tersendiri. Seolah hidup dan cinta harus menghasilkan sebuah jawaban atas perumusan itu. Dengan sebuah angka, variabel, dan konstanta. Begitu seterusnya berulang-ulang, sama, dan kontinu. Seperti itulah yang disebut dengan sebuah cinta. C-I-N-T-A. Sebuah rangkaian rumusan takdir yang diciptakan Tuhan untuk manusia, sebuah variabel yang tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk konsonanitas, kemonotonan, dan jeratan rutinitas teatrikal kehidupan manusia. Tiap -tiap dari kita adalah sebuah konstanta di dalamnya. Menimbulkan perhitungan aritmetika dan kumpulan peluang tentang siapa yang kita cintai dan harus dicintai, yang tak mencintai dan harusnya tak dicintai. Angka-angka mungkin tak kan cukup untuk menafsirkan kadar cinta atau prosentase rasa rindu seseorang yang sedang kasmaran pada pujaan hatinya. Barang kali, berbait-bait kalimat takkan mampu untuk menjelaskan bagaimana kita bisa jatuh hati kepada seseorang, layaknya sebuah soal cerita matematika, sebuah kata-kata sederhana yang di dalamnya terdapat angka, dan di dalam angka-angka itu terdapat jawaban yang rumit.
Semua orang pasti akan sepakat dengan saya, menggeleng-gelengkan kepala, mendecak-decakkan lidah, lalu mengangguk dan berkata, “Iya ya, itu benar”. Tapi itu bukan jawaban, sekali lagi itu bukan jawaban soal cinta. Itu hanyalah sebuah pembenaran rasio atas rasa, akal pada hati. Semua itu akan terus menimbulkan seonggok kalimat tanya — tentang apa, siapa, bagaimana, kapan, berapa, dan dimana. Apa yang saya rasakan ini cinta? Siapa yang sebenarnya saya cintai ini? Bagaimana cinta ini seharusnya? Kapan ini mulai disebut cinta? Berapa besarkah rasa cinta ini? Dan dimanakah rasa ini seharusnya agar bisa mencintai? Sebuah teka-teki silang vertikal dan horizontal tentang cinta yang selalu ku temui dalam bingkai potretmu. Terkadang cinta membuatku mengkonsepkan sesuatu, memvisualisasikan yang riil dan yang imajiner menjadi sebuah bahasa verbal yang abstrak. Berandai-andai untuk membuat diriku makin terkonsep pada kompleksitas dalil-dalil tentang cinta. Sebuah teorema pengantar tidur yang selalu harus berakhir pada sekedar bunga tidur.
Kadang aku juga berfikir, haruskah semudah itu aku menyerah pada sebuah kalkulasi takdir? Menyandarkan semua keyakinan ini pada semua keragu-raguan, ataukah menepiskan ragu dan meyakinkan diri ini sebagai sebuah konstanta yang mampu merubah kalkulasi takdir? Dalam hal ini, setiap dari kita pasti akan berkata: “Atas nama cinta, akulah sang konstanta itu”. Seperti konstanta dalam kesebandingan yang akan merubah hasil akhir dari tiap-tiap jawaban, termasuk jawaban atas takdir cintaku padamu. Kadang kala itulah yang membuatku selalu siap untuk berjuang — memperjuangkan cinta. Aku selalu siap akan segalanya. Siap menang dan menjadi pahlawan, tapi juga jauh lebih besar siapku untuk kalah dan menjadi pecundang. Sesuatu yang selalu menggelitik batinku tentang sebuah rasa pesimis di atas sedikit rasa optimis, atau mungkin lebih tepatnya “pasrah”.

Setiap dari susunan huruf namamu adalah sebuah susunan abjad vokal dan konsonan yang disusun oleh para dewa-dewa. “Hera”. H-E-R-A. Butuh seorang yang pantas untuk menjemput hatimu yang lelah menunggu di persimpangan jalan. Lalu haruskah aku menjadi “Zeus”? Z-E-U-S. Raja para dewa, menggenggam dunia, dan mempersembahkannya kepadamu. Menunjukkan sekelebat atraksi memainkan petir di tangan hanya untuk bisa melihatmu berdecak kagum sambil menepukkan kedua telapak tangan dengan anggun, menyunggingkan senyum malu-malu seorang dewi, ratu para dewi. Menggenggam tanganmu yang layu melambai-lambai. Menyatukan dua hati kita dengan kalimat-kalimat magis dewa-dewa di kerajaan langit. Pemandangan diskrit itulah yang selalu ingin kujejalkan dalam sepasang mataku ini, menambah perbendaharaan momen-momen spesial dalam hidupku.
Namun kembali lagi aku tersadar dari angan-anganku tentang siapa aku. Pesonamu sungguh tidak dapat ku jangkau dengan materi, dengan kata, dan terlebih dengan angka. Sekalipun aku adalah Phytagoras. Dengan teoremanya yang dapat menghubungkan kita dalam sebuah bangun datar bernama segitiga—segitiga siku-siku. Dua titik yang segaris dihubungkan oleh satu titik di atasnya; dua insan yang berstatus hamba, dipertemukan karena satu titik, karena Tuhan. Tapi sekali lagi, ada yang mengganjal dalam rangkaian perjalanan pikiranku untuk menembus relung hatimu. Hypotenusa. Sebuah garis miring dalam segitiga siku-siku cinta kita. Sebuah garis yang teramat sulit bagiku — yang hanya seorang pengagum Phytagoras — untuk menujumu. Mungkin tiap-tiap dari kalian yang melihat sikap saya akan menggeleng-gelengkan kepala, memanyun-manyunkan bibir, menghembus-hembuskan nafas, dan berkata, “Hah, payah, payah”.
Cintaku tak semudah itu, Bung. Cinta ini bukan cinta Mimi dan Mintuno, Paimi dan Paimo, atau Sarmini dan Sarmino, ini soal cinta Hera dan Heru. H-E-R-A dan H-E-R-U. Bukan sebuah cinta yang mudah ditukar dengan berlian berdigit enam yang melingkar di jari manis. Atau kuda besi berdigit sembilan yang di minumkan pertamax. Atau pula di gadai dengan megahnya bangun ruang bervolume besar, di digit dua belas. Karena faktanya tidak satu pun dari digit-digit itu yang aku punya, selain beberapa lembar kertas dengan angka berdigit empat dan lima, bahkan lebih sering berdigit tiga atau dua. Tiap digitnya merujuk pada kumpulan angka–angka dari himpunan bilangan real, bahkan lebih real dan nyata lagi dari yang terbayangkan.

Seketika bayang-bayangku atas potretmu terhenti. Ketika malam telah semakin larut, memunculkan angka di dinding hati yang carut marut, dalam pikiran yang berlarut-larut. Seolah semua itu merayuku untuk menutup bingkai potretmu, dan meninggalkannya sendiri dalam bayang-bayang di sudut kamarku yang paling gelap. Tubuh ini mungkin bisa lemah, mata ini pun bisa lelah, tapi tidak untuk hati ini. Cintaku tak sekali pun akan lemah dan lelah untukmu. Cinta seorang Heru. “Heru dan Hera”. H-E-R-U dan H-E-R-A. Seperti sebuah konstanta, berharga mutlak, tak berhingga, begitu seterusnya berulang-ulang, sama dan kontinu.

0 comments:

Posting Komentar

 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea