Lumpy Space Princess - Adventure Time

Sabtu, 20 Juli 2013

KETABAHAN DINAR

Posted by Unknown at 02.24


 Aku menatap bocah enam tahun yang berdiri di depanku. Tubuhnya penuh dengan daki. Aroma tak sedap merasuki penciumanku. Entah sudah berapa lama tubuhnya yang mungil tak bersentuhan dengan air dan sabun mandi.

Bola matanya yang indah memancarkan sebuah semangat. Astaga! Senyumannya manis sekali ketika dia tersenyum padaku. Sepasang lesung pipi menghiasi wajahnya. Laksana pelangi yang menghiasi langit hujan.

”Nama kamu siapa?” tanyaku sambil membalas senyumnya.

”Dinar.” jawabnya sambil tangannya memainkan ujung bajunya yang penuh tambalan.

”Dinar datang kemari dengan siapa?”

Diam. Tak ada jawaban. Pandangannya menyapu lantai kelas yang kosong. Masih belum ada murid yang datang. Biasanya kalau hujan seperti ini murid-murid datangnya suka agak telat. Ada sebutir air mata yang mendadak jatuh membasahi pipinya. Aku menjadi bingung dengan reaksinya atas pertanyaanku.

”Dinar datang sendiri ya?” tanyaku sambil menggengam tangannya yang dingin.

”memang kenapa kalau nggak ada ayah dan ibu? aku nggak boleh belajar di sini ya kak?” jawabnya pelan.

”Siapa pun bisa belajar di sini. Termasuk kamu dik.” Jawabku lalu mengelus-ngelus kepalanya dengan lembut.

“Dinar nggak punya ayah dan ibu. Ayah dan ibu Dinar sudah meninggal. Dinar tinggal dengan nenek.”

Aku memperhatikan kantong plastik tua yang dibawanya. Merasa aku penasaran dengan isi kantong plastik tersebut, Dinar langsung mengeluarkan isinya.

Ya Allah! Aku mencoba membendung air mataku agar tidak jatuh. Miris, sesak, sedih, dan terharu menyatu di dalam dadaku melihat isi kantong plastik yang dibawanya. Dengan bangganya dia memperlihatkanku, beberapa lembar kalender usang yang telah dipotong empat lalu dilobangi dan diikat dengan tali dijadikan buku. Sebuah pensil yang sepertinya sudah di serut dengan pisau.

“Buku Dinar jelek ya kak?” aku langsung memeluknya. Suaraku sepertinya tertahan di tenggorokanku. Aku tak mampu mengatakan apa pun. Air mataku pun berhasil jatuh. Aku mengagumi semangatnya yang ingin belajar. Sebuah semangat yang luar biasa di antara keterbatasan yang dimilikinya.

Sewaktu aku kecil, aku sering merobek bukuku hanya untuk membuat pesawat kertas atau perahu. Ketika aku duduk di bangku SMP, bukuku sering penuh dengan coretan yang tak jelas.

                                                                 ***
Selesai kelas dan anak-anak lainnya sudah pulang semua. Aku pun mengantar Dinar pulang. Bukan karena dia tidak bisa pulang sendiri. Tapi aku ingin melihat di mana ia tinggal.

“Kakak, ini rumah Dinar! Ucapnya dengan penuh kebanggaan. Tak ada sedikit pun rasa malu.

Ini bukan rumah apalagi gubuk.

Aku memperhatikan hamparan tikar tua yang menjadi alas. Sekat setinggi lutut orang dewasa mengelilingi rumahnya. Tidak ada dinding sama sekali apalagi atap. Jalan tol megah menjadi atapnya. Tumpukan kardus menjadi perabot rumah tersebut. Halamannya penuh dengan tumpukan gelas dan botol bekas air mineral.

”Masuk Kak, nenek lagi nggak ada. Masih mulung!”

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya. Aku masuk lalu menghempaskan tubuhku ke lantai.

”Kak ini air minumnya ya.” Ucap bocah itu lalu menyerahkan segelas air putih.

Aku meraih gelas yang penuh dengan air putih tersebut lalu meminumnya. Terasa aneh di lidahku. Sepertinya itu adalah air sumur yang telah di rebus.

***
Dalam kurun dua minggu Dinar sudah bisa mengenal semua abjad dan angka. Prestasi yang tidak dapat diikuti oleh teman-teman sekelasnya yang lain.

”Wah, Dinar hebat! Sudah bisa mengenal semua huruf.” pujiku setelah KBM selesai.

Dengan malu-malu dia tersenyum padaku. Detik sebelumnya, dia mencari sesuatu di dalam tas yang pernah aku berikan padanya.

“Dinar mau bisa membaca kitab suci seperti ayah dan ibu dulu. Makanya Dinar mau belajar.”

Wajahku rasanya seperti tertampar. “Maafkan aku, Tuhan. Pagi ini aku telah melupakanMu. Aku tak membaca sabda suciMu.” Bisikku dalam hati.

***
Wajahku memancarkan kegelisahan. Entah kenapa, aku merasa kuatir ketika Dinar belum juga datang. Tak seperti biasanya, jam segini dia sudah datang. Lalu dia menjadi murid pertama yang hadir di kelas. Lima menit lagi KBM akan dimulai.

Hingga waktu jam KBM, Dinar tak juga datang.
”Sakitkah dia?” tanyaku dalam hati.

Tak ada satu pun yang tahu alasan Dinar tidak hadir hari ini di kelas. Selesai KBM, aku langsung bergegas menuju ke tempat tinggalnya. Sebelum sampai di rumah Dinar, seorang ibu menyapaku.

”Cari Dinar ya, mbak?”

Aku menganggukan kepala sambil menjawab, ”Iya Bu.”

”Dinar di rumah sakit, mbak. Semalam ia...”

***
Tangan kanannya penuh dengan perban. Ia kecelakaan ketika membantu neneknya memulung dan tangan kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus diamputasi. Dengan bekal pinjaman sana-sini dan bantuan tetangga serta pengguna jalan raya yang menyaksikan peristiwa tersebut, akhirnya Dinar di bawa ke rumah sakit.

Kantong plastik yang berisi seragam sekolah, tas dan perlengkapan sekolah terlepas dari tanganku. Masih terngiang di kepalaku percakapan kami kemarin.

”Kak, Dinar mau masuk SD tapi kata nenek, uangnya belum cukup. Katanya baju seragam sekolahnya mahal.”

”Dinar pasti sekolah. Percayalah!”
Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang di tubuhnya.

Aku mengumpulkan semua kekuatanku untuk menyapanya.
”Halo, Dinar?”

Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
”Kak, tangan Dinar sakit sekali. Tangan Dinar kenapa dipotong? Kan Dinar mau nulis.”

Aku mencoba untuk menahan air mataku agar tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis di depan Dinar.

”Dinar pasti sembuh!” kataku mencoba menghiburnya.

”Kalo Dinar sembuh itu artinya tangan Dinar tumbuh lagi ya, Kak?”

Nenek Dinar yang berdiri di belakangku memegang erat pundakku.

”Iya, Dinar lupa. Dinar bisa menulis pakai tangan kiri. Kalau Tuhan nggak bisa kasih mukzizat untuk numbuhin tangan kanan Dinar, Tuhan pasti kasih mukzizat buat Dinar untuk menulis dengan tangan kiri.” ucapnya dengan senyuman.

Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata nenek Dinar jatuh membasahi bahuku.

0 comments:

Posting Komentar

 

Desty Lilian Rosana Putri Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea