Ada satu masa dimana manusia menginjakkan kaki di muka bumi dengan angkuhnya.
Tak kusanggah, termasuk Aku.
Entah harus aku sebut apa diri ini kala keangkuhan itu datang setiap ada bagian dari diri yang lebih dari orang lain di sekitar.
Aku sampai heran dengan orang yang tingkat kesabarannya melebihi batas untuk tidak menyombongkan diri..
Karena, menurutku menyombongkan diri itu asyik..
Bagaimana tidak, kita dikaruniai hal terlengkap dari makhluk yang lainnya,
bahkan menyombongkan diri bila ditempatkan pada sisi positif, hal yang
baiknya adalah mendorong kita agar terus berpositif diri pada diri kita,
tidak menyianyiakannya, tidak merendahkannya hingga tidak menyesalinya
lahir ke bumi ini.
Bahkan sampai saat ini ada hal yang tidak mampu dijangkau logika yang
dikaruniakan pada diri ini yang patut disombongkan dengan perwujudan
yang bernama ‘syukur’. Yaitu, Aku diberikan kesadaran bahwa lawan jenis
merupakan hal yang sulit dihindari kala ada hasrat yang bergejolak
menunggu dasar dari lubuk hati mengering dan butuh penyegaran..
Biar kuperjelas, lawan jenis saat ini menjadi prioritas utama yang
selalu mendorong kita untuk terlihat lebih baik dari orang di
sekeliling’nya’ sehingga (dia) hanya ‘stak’ untuk mengagumi dan tak
menyesali satu hal pun dari kita.
itu mungkin lebih terhenyak untuk yang berjenis kelamin seperti Hawa.
ya.. karena aku tau bahwa kaum Adam cukup memiliki ego dan gengsi yang kurang dipahami skala kaum hawa.
Cukup menarik semua yang terjadi pada diri ini, tak terkecuali makna hidup yang kucari sampai saat ini..
Tapi kenapa selalu saja ada yang memaknai hidup sebatas hidup yang
ternyata tumbuhan pun hidup, bekerja yang ternyata hewan pun bekerja.
Sesempit itu kah? atau adakah hal lain?
Aku masih sayup-sayup mendengar kata hati.. kemudian hening..
Masih disibukkan aku oleh jejalan pertanyaan akan apalagi yang harus
kusombongkan. Tapi kini aku diam, bahasa ini tak lagi sanggup dimuat
lisan atau logikaku yang sampai detik aku menulis ini pun masih tak
bermuara.
Tidakkah ada jalanku yang sanggup membawa aku pada perbendaharaan
hati untuk mampu membenahi diri bukan jadi aku yang masih mempertanyakan
‘siapa Aku?’ dengan wajah polos mengabaikan apa yang aku tahu.
Saat ini aku berjalan di antara lentera yang menerangi desa dengan
sandalku yang penuh lumpur. Pikirku, ‘alas kakiku saja sudah penuh
lumpur, apalagi aku yang hanya berjalan dari lentera satu ke lentera
lain. Apa masih salah jalan yang diterangi lentera ini? masih belum
benar kah? Tersesat kah Aku?’
Kesombonganku diambang waktu yang membatasiku untuk tidak lagi
menyentuhnya. Kuabadikan sombongku dengan menggubahnya menjadi syukur..
Ada arti yang belum terpahami seluruhnya, bahkan jika aku mati di pelukanNya..
karena Lentera itu sudah tergantikan oleh ‘Lampu di Gelapnya Kamarku’…
*Sebuah kenyataan, bahwa kutulis ini hanya di diaryku, sudah usang lalu kubuka kembali
Selasa, 05 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar