Malam ini, ketika sepasang mataku sedang menatap potretmu dalam
bingkai kayu, muncul sesuatu hal dalam benakku. Takdir ini adalah sebuah
rumusan hidup, begitu pun dengan cinta. Setiap cinta pula mempunyai
rumusan tersendiri. Seolah hidup dan cinta harus menghasilkan sebuah
jawaban atas perumusan itu. Dengan sebuah angka, variabel, dan
konstanta. Begitu seterusnya berulang-ulang, sama, dan kontinu. Seperti
itulah yang disebut dengan sebuah cinta. C-I-N-T-A. Sebuah rangkaian
rumusan takdir yang diciptakan Tuhan untuk manusia, sebuah variabel yang
tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk konsonanitas, kemonotonan, dan
jeratan rutinitas teatrikal kehidupan manusia. Tiap -tiap dari kita
adalah sebuah konstanta di dalamnya. Menimbulkan perhitungan aritmetika
dan kumpulan peluang tentang siapa yang kita cintai dan harus dicintai,
yang tak mencintai dan harusnya tak dicintai. Angka-angka mungkin tak
kan cukup untuk menafsirkan kadar cinta atau prosentase rasa rindu
seseorang yang sedang kasmaran pada pujaan hatinya. Barang kali,
berbait-bait kalimat takkan mampu untuk menjelaskan bagaimana kita bisa
jatuh hati kepada seseorang, layaknya sebuah soal cerita matematika,
sebuah kata-kata sederhana yang di dalamnya terdapat angka, dan di dalam
angka-angka itu terdapat jawaban yang rumit.
Semua orang pasti akan sepakat dengan saya, menggeleng-gelengkan
kepala, mendecak-decakkan lidah, lalu mengangguk dan berkata, “Iya ya,
itu benar”. Tapi itu bukan jawaban, sekali lagi itu bukan jawaban soal
cinta. Itu hanyalah sebuah pembenaran rasio atas rasa, akal pada hati.
Semua itu akan terus menimbulkan seonggok kalimat tanya — tentang apa,
siapa, bagaimana, kapan, berapa, dan dimana. Apa yang saya rasakan ini
cinta? Siapa yang sebenarnya saya cintai ini? Bagaimana cinta ini
seharusnya? Kapan ini mulai disebut cinta? Berapa besarkah rasa cinta
ini? Dan dimanakah rasa ini seharusnya agar bisa mencintai? Sebuah
teka-teki silang vertikal dan horizontal tentang cinta yang selalu ku
temui dalam bingkai potretmu. Terkadang cinta membuatku mengkonsepkan
sesuatu, memvisualisasikan yang riil dan yang imajiner menjadi sebuah
bahasa verbal yang abstrak. Berandai-andai untuk membuat diriku makin
terkonsep pada kompleksitas dalil-dalil tentang cinta. Sebuah teorema
pengantar tidur yang selalu harus berakhir pada sekedar bunga tidur.
Kadang aku juga berfikir, haruskah semudah itu aku menyerah pada
sebuah kalkulasi takdir? Menyandarkan semua keyakinan ini pada semua
keragu-raguan, ataukah menepiskan ragu dan meyakinkan diri ini sebagai
sebuah konstanta yang mampu merubah kalkulasi takdir? Dalam hal ini,
setiap dari kita pasti akan berkata: “Atas nama cinta, akulah sang
konstanta itu”. Seperti konstanta dalam kesebandingan yang akan merubah
hasil akhir dari tiap-tiap jawaban, termasuk jawaban atas takdir cintaku
padamu. Kadang kala itulah yang membuatku selalu siap untuk berjuang —
memperjuangkan cinta. Aku selalu siap akan segalanya. Siap menang dan
menjadi pahlawan, tapi juga jauh lebih besar siapku untuk kalah dan
menjadi pecundang. Sesuatu yang selalu menggelitik batinku tentang
sebuah rasa pesimis di atas sedikit rasa optimis, atau mungkin lebih
tepatnya “pasrah”.
—
Setiap dari susunan huruf namamu adalah sebuah susunan abjad vokal
dan konsonan yang disusun oleh para dewa-dewa. “Hera”. H-E-R-A. Butuh
seorang yang pantas untuk menjemput hatimu yang lelah menunggu di
persimpangan jalan. Lalu haruskah aku menjadi “Zeus”? Z-E-U-S. Raja para
dewa, menggenggam dunia, dan mempersembahkannya kepadamu. Menunjukkan
sekelebat atraksi memainkan petir di tangan hanya untuk bisa melihatmu
berdecak kagum sambil menepukkan kedua telapak tangan dengan anggun,
menyunggingkan senyum malu-malu seorang dewi, ratu para dewi.
Menggenggam tanganmu yang layu melambai-lambai. Menyatukan dua hati kita
dengan kalimat-kalimat magis dewa-dewa di kerajaan langit. Pemandangan
diskrit itulah yang selalu ingin kujejalkan dalam sepasang mataku ini,
menambah perbendaharaan momen-momen spesial dalam hidupku.
Namun kembali lagi aku tersadar dari angan-anganku tentang siapa aku.
Pesonamu sungguh tidak dapat ku jangkau dengan materi, dengan kata, dan
terlebih dengan angka. Sekalipun aku adalah Phytagoras. Dengan
teoremanya yang dapat menghubungkan kita dalam sebuah bangun datar
bernama segitiga—segitiga siku-siku. Dua titik yang segaris dihubungkan
oleh satu titik di atasnya; dua insan yang berstatus hamba, dipertemukan
karena satu titik, karena Tuhan. Tapi sekali lagi, ada yang mengganjal
dalam rangkaian perjalanan pikiranku untuk menembus relung hatimu.
Hypotenusa. Sebuah garis miring dalam segitiga siku-siku cinta kita.
Sebuah garis yang teramat sulit bagiku — yang hanya seorang pengagum
Phytagoras — untuk menujumu. Mungkin tiap-tiap dari kalian yang melihat
sikap saya akan menggeleng-gelengkan kepala, memanyun-manyunkan bibir,
menghembus-hembuskan nafas, dan berkata, “Hah, payah, payah”.
Cintaku tak semudah itu, Bung. Cinta ini bukan cinta Mimi dan
Mintuno, Paimi dan Paimo, atau Sarmini dan Sarmino, ini soal cinta Hera
dan Heru. H-E-R-A dan H-E-R-U. Bukan sebuah cinta yang mudah ditukar
dengan berlian berdigit enam yang melingkar di jari manis. Atau kuda
besi berdigit sembilan yang di minumkan pertamax. Atau pula di gadai
dengan megahnya bangun ruang bervolume besar, di digit dua belas. Karena
faktanya tidak satu pun dari digit-digit itu yang aku punya, selain
beberapa lembar kertas dengan angka berdigit empat dan lima, bahkan
lebih sering berdigit tiga atau dua. Tiap digitnya merujuk pada kumpulan
angka–angka dari himpunan bilangan real, bahkan lebih real dan nyata
lagi dari yang terbayangkan.
—
Seketika bayang-bayangku atas potretmu terhenti. Ketika malam telah
semakin larut, memunculkan angka di dinding hati yang carut marut, dalam
pikiran yang berlarut-larut. Seolah semua itu merayuku untuk menutup
bingkai potretmu, dan meninggalkannya sendiri dalam bayang-bayang di
sudut kamarku yang paling gelap. Tubuh ini mungkin bisa lemah, mata ini
pun bisa lelah, tapi tidak untuk hati ini. Cintaku tak sekali pun akan
lemah dan lelah untukmu. Cinta seorang Heru. “Heru dan Hera”. H-E-R-U
dan H-E-R-A. Seperti sebuah konstanta, berharga mutlak, tak berhingga,
begitu seterusnya berulang-ulang, sama dan kontinu.
Selasa, 05 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar