Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya
gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah
berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir.
Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas
disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya
menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali
silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama merasa
panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya
bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata.
Pasir namanya. Gadis yang tak pantas disebut kecil
itu tengah berdiri di antara ribuan pasir yang terbaring luas. Entah mengapa
orangtuanya menamai gadis itu Pasir. Entah ada maksud apa dalam penamaannya.
Tapi sekarang dia malah berdiri seorang diri tanpa seorang pun menemani. Entah
di mana orangtuanya yang telah memberi nama Pasir pada dia. Entah masih ada
atau pun tidak. Tapi mengapa gadis itu sekarang begitu tampak kucel dan kotor.
Dia hanya sebatang kara berdiri di sana. Mungkin dengan bayangannya.
“Pasir.” Desah seorang pria berbaju putih dan
terlihat sangat rapi.
Sebutir Pasir itu pun mendongak dan menatap pria
tadi yang memanggilnya. Matanya mengamati tiap bagian di tubuh sang pria.
“Pasir. Namamu aneh!”
“Kau siapa?” Pasir mulai mengeluarkan sepenggal
kata dari mulutnya.
Pria bergamis putih itu tersenyum.
Pria bergamis putih itu tersenyum.
“Mengapa orangtuamu memberi nama Pasir?”
“Bukan mereka. Aku yang menamai diriku Pasir.”
Bantahnya.
Pria tadi tersenyum kembali.
Pria tadi tersenyum kembali.
“Lantas mengapa kau ingin nama itu?”
“Kau mungkin tahu berapa banyak pasir di sini?”
Pria itu menggeleng.
“Aku tidak tahu. Apakah perlu aku menghitungnya?”
“Sudah kuduga. Tak ada seorang pun yang bisa
mengetahuinya.”
“Tak ada? Bagaimana dengan Tuhan? Apakah Dia juga
tak tahu? Bukankah Dia yang telah menciptakan pasir di gurun ini?”
“Ya mungkin. Kecuali Tuhan.” Ujar Pasir.
Pria bersorban itu tersenyum kembali.
Pria bersorban itu tersenyum kembali.
“Lantas, apa maksudmu menamai dirimu Pasir?”
“Di sini aku melihat banyak pasir. Dan sungguh
ironis sekali hanya ada sebutir pasir di gurun ini. Dan itulah aku. Aku sangat
ironis. Sebutir Pasir. Dan aku juga berfikir bahwa tak akan ada sebutir pasir,
pasir yang sendirian. Tak ada kawan dalam hidupnya. Pasir pasti selalu
berkumpul dengan pasir-pasir lainnya.”
“Lekas, mengapa kau menyebut dirimu sebutir pasir?”
“Ya karena itu. Aku sendirian. Aku tak punya kawan.
Aku sangat ironis.”
“Lantas mengapa kau tak bergabung dengan pasir-pasir
lainnya agar bisa menjadi gurun?”
Pasir terdiam. Dia tak bisa mengeluarkan sepenggal
kata pun. Mulutnya terkunci rapat. Air matanya dia tahan agar tak pernah
keluar.
“Coba kau pikirkan! Tak pernah ada satu pun orang
yang mau sekedar bertanya padaku. Tak ada satu pun orang yang peduli
terhadapku! Apakah aku bisa bergabung dengan mereka dan menjadi sebuah gurun?”
“Apakah aku bukan seseorang yang peduli padamu?
Apakah aku bukan seseorang yang bertanya pada dirimu, Pasir?” Jawabnya tenang.
Pasir kembali terdiam. Kata-kata pria tadi seolah
menusuk tajam di dalam hatinya. Namun dari wajah pria itu tak nampak sedikit
pun tersirat kecurangan. Wajahnya suci dan bersih. Tak ada setitik noda dosa
tersirat dalam hatinya.
“Ya mungkin. Hanya kau yang mau bertanya padaku.”
“Selain aku, bayanganmu juga masih setia bersamamu.
Dia selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi. Tapi memang, ada kalanya
bayanganmu itu pergi meninggalkan tubuhmu.”
“Kapan?”
“Di saat gelap. Tak ada setitik cahaya pun
menerangimu. Dan saat itu tak akan ada siapa pun yang menemanimu.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Mendekatlah pada Tuhan! Sadarilah perbuatanmu itu
salah!”
“Aku tak punya Tuhan. Aku tak punya teman. Aku tak
punya segalanya.”
“Maka dari itu, dekatilah mereka. Jika kau ingin
mengenal Tuhan, dekatilah Tuhan. Jika kau ingin punya teman, dekatilah mereka.
Jangan hidup sebutir sepertimu ini. Jangan sia-siakan waktu dengan menyendiri
seperti ini.”
“Tak apa. Ini hidupku. Jalan mana pun yang aku
pilih, biarkan. Kau tak berhak untuk mengatur apa yang kulakukan dalam hidupku.
Hidupku terserah diriku.”
“Memang benar. Tapi apakah aku akan membiarkan
seseorang yang tersesat di jalan yang salah untuk tetap berjalan? Tentu tidak.
Aku tak akan membiarkannya. Aku harus membenarkannya.”
“Kau siapa diriku? Sebegitu pedulikah kau
tentangku?”
“Aku mencintaimu karena Allah. Maka dari itu aku
peduli terhadapmu.”
“Siapa dirimu?”
“Aku adalah sebilah kayu.”
“Lekas mengapa dirimu menyebut diri sendiri kayu?
Mengapa kau menurutiku sebagai sebutir pasir?”
“Jika kau pasir, aku adalah kayu. Kau mungkin tahu
apa gunanya kayu. Kayu berawal dari sebatang pohon. Dan kau mungkin tahu,
seberapa berguna pohon bagi dirimu. Apalagi di tengah padang pasir seperti ini.
Setelah pohon tersebut ditebang, pasti mereka banyak digunakan. Kayu bisa
dibuat meja, kursi dan mungkin sebagai bahan bangunan. Seperti untuk rumah.
Kayu juga sangat kokoh. Kayu tak mudah patah. Maka dari itu, aku menyebut
diriku kayu. Karena aku ingin menjadi seperti kayu. Walaupun masih jauh
sesempurna itu.”
“Mengapa tidak besi saja? Besi lebih kokoh daripada
kayu. ”
“Ya. Kau benar, Pasir. Besi lebih kokoh dari kayu.
Namun asalkan dirimu tahu, besi melambangkan seseorang yang tangguh namun
sombong. Maka dari itu, aku tak akan meniru besi.”
Pasir kembali terdiam. Otaknya dia buat bekerja.
Dia memikirkan sesuatu yang mungkin tak pernah bisa dijawab oleh pria itu.
Pandangannya menatap ke atas.
“Bagaimana caranya aku mengenal Tuhan?” Tanya Pasir
polos.
“Kau bisa belajar dari orang lain.”
“Apakah kau bisa mengajariku?”
“Aku tak punya banyak waktu.”
“Bukankah kayu itu sangat berguna. Pasir itu tak
pernah berguna. Untuk apa juga aku mengenal Tuhan.”
“Ish, kau jangan bilang sembarangan.” Tegur pria
itu lembut.
“Sebutir pasir memang tak akan berguna jika hanya
sebutir. Jika kau bergabung dengan pasir lain, dengan semen, besi, batu, kayu
dan air. Kau bisa menjadi sebuah gedung.”
“Kebersamaan?”
“Ya benar. Umat muslim itu seperti sebuah bangunan
yang saling menguatkan. Jika kau sebutir pasir, dan banyak lagi pasir
sepertimu, bergabunglah dengan mereka. Setelah itu, carilah orang lain. Seperti
besi, kayu, air, semen, batu. Dan bersatulah. Maka kalian akan menjadi sebuah
gedung yang kokoh.”
“Jadi aku tak boleh menyendiri?”
“Benar sekali. Kau hanya bisa menjadi sebutir pasir
di hadapan Tuhan-Mu. Allah. Kau hanya sebutir pasir di hadapan-Nya. Dan jangan
pernah menjadi lagi sebutir pasir di hadapan para manusia-manusia itu.
Bergabunglah dan menjadi padang. Bergabunglah dan menjadi gedung.”
“Lalu bagaimana diriku mengenal Tuhan? Allah. Dari
siapa aku akan belajar?”
“Kau bisa belajar dari siapa pun yang memiliki
ilmu. Ilmu tauhid. Sedari dulu kamu memang selalu berjalan di kesesatan. Maka
dari itu, sekarang kau sadari dan segera beralih ke jalan yang benar. Segeralah
bergabung dengan orang-orang itu.”
“Tapi apakah mereka akan menerimaku?” Tanya Pasir
polos.
Pria itu tersenyum lagi.
Pria itu tersenyum lagi.
“Tentu saja. Mereka adalah orang baik. Lebih baik
dari yang kau pikirkan.”
“Jadi sekarang aku harus ke kota itu?”
“Ya. Pergilah. Dan ingat, kau sebutir pasir di
hadapan Tuhan. Maka jangan melampaui batas. Tapi kau sama seperti manusia
derajatnya di sini. Kau tak pantas sendirian. Kau tak pantas sebutir saja. Di
tengah gurun pasir luas seperti ini, sama seperti orang bodoh. Kau masih muda.
Jangan sia-siakan waktumu. Masih banyak orang-orang di sana yang sangat
membutuhkan waktunya untuk hidup. Maka dari itu, bertakwalah. Dan jalin
silaturahmi. Perbaikilah amalanmu. Jangan hidup di tengah kesendirian dan
kebimbangan.”
Pasir pun tersenyum. Pria tadi ikut tersenyum. Pria
itu pun melangkah menjauh dari Pasir. Pasir menatapnya heran.
“Kau mau ke mana?”
“Masih banyak urusan yang harus kukerjakan.
Sebaiknya kau bergabung dengan orang-orang di sana. Mereka pasti menerimamu
dengan baik.”
Pasir mengangguk.
Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya
gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah
berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir.
Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas
disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya
menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali
silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama sekali
merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini
hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata. “Ya Allah,
Tuhanku. Terima kasih Engkau telah menyadarkanku dari kebodohan ini. Seharusnya
aku tak hidup seperti ini. Hanya karena kedua orangtuaku meninggal, aku sudah
tak ingat dan kenal pada-Mu. Aku sudah tak punya semangat hidup. Ampuni aku Ya
Allah. Sekarang aku berjanji, tak akan ada lagi sebutir pasir di hidupku,
kecuali ketika menghadap pada-Mu. Ya Rabb yang Maha Agung.”
Satu tetes air mata keluara dari pelupuk matanya.
Bukan kesedihan. Melainkan kebahagiaan. Kini Pasir sudah tak jadi sebutir lagi.
Dia akan pergi berkelana mencari teman dan lebih mempelajari tentang Rabb-Nya.
Dia mungkin tak akan menjadi sebutir pasir, kecuali di hadapan-Nya. Sang Rabb
pencipta.
- SEKIAN -
lomba ini diikutsertakan dalam lomba http://lomenulis.com/post/56338589530/lomba-menulis-motivasi-pemuda-cinta-by-cyber-dakwah
0 comments:
Posting Komentar