Di bawah sinar matahari yang teriknya, gadis kecil
itu masih berdiri sambil meneteskan air matanya. Bajunya kotor dan ada sedikit
bercak-bercak darah. Jilbab yang dipakainya tak seluruh menutupi rambutnya.
Mungkin pada bagian poni yang terlihat. Penampilannya sungguh acak-acakan. Air
matanya juga tak henti turun. Dia masih berdiri di ujung siang sampai detik
ini. Tak ada sedikit pun gerakan darinya. Hanya gerakan air mata yang turun dan
membasahi pipinya. Ya. Membasahi pipinya yang kecil, lusuh dan kotor.
Matanya memandang padang pasir yang sangat luas.
Tenda-tenda berdiri lemah di belakangnya. Nafasnya sedikit tersendat.
Orang-orang yang ada di sana sama sekali tak mengerti bagaimana penderitaannya.
Tentu saja. Karena mereka sama-sama menderita. Mungkin. Sebagian.
“Hey gadis kecil! Ayo ke sini! Di sana panas.
Bagaimana kalau tiba-tiba para tentara zionis itu meneyerang!?” Teriak seorang
pria dari sana.
Gadis kecil itu masih terdiam tak bergeming sama
sekali. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika akhirnya akan seperti ini.
“Assalamualaikum.” Ucap seorang pria padanya.
Gadis itu mendongak.
“Waalaikumsalam.”
“Kau sendiri di sini?” Tanya pria tersebut. Gadis
itu diam.
“Adakah orang yang kau kenal di Jabaliyah?”
Gadis itu menggeleng lalu berjalan pergi dari pria
tersebut. Pria itu menatap gadis yang tak tahu siapa itu aneh. Ada apa
dengannya?
Gadis kecil itu berjalan menuju pengungsiannya.
Terdapat banyak orang di sana. dia tak mengenal satu pun dari orang-orang
tersebut. Termasuk pria tadi.
Dia pun mengambil selembar foto. Foto kenangan dari
orang yang amat dicintainya. Orang yang menyayanginya. Dan orang yang bisa
mengerti perasaannya.
“Abi, Ummi, Abdillah, mengapa kalian harus pergi
secepat itu? Tak tahukah bahwa ada seorang gadis kecil yang kesepian di sini?”
Ucapnya sambil meneteskan satu tetes air mata.
Dia menggigit bibirnya. Dia menegadah untuk
mencegah air matanya turun. Dia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana
nasibnya nanti. Dia benar-benar telah kehilangan orang yang benar-benar sangat
dia sayangi. Segalanya kini hanyalah tinggal seberkas kenang.
“Kau kehilangan keluargamu?” Tanya pria tadi.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan foto yang dia
lihat. Dia terlihat kaget ketika pemuda itu datang.
“Kau tidak usah menyembunyikannya. Banyak mereka di
sini yang sama sepertimu. Termasuk aku.”
Pemuda itu duduk di samping gadis kecil. Gadis itu
sedikit bergeser. Dia memeluk lututnya.
“Kau tak usah takut padaku. Aku tak termasuk ke
dalam tentara Israel itu. Namaku Yaasir.” Ucapnya.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. Dia pun menunduk
lagi.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
“Nur. Nurlaila.”
“Cahaya di malam yang gelap? Namamu bagus. Kau
harus seperti namamu.”
Gadis itu mendongak lagi dan menatap pemuda
tersebut. Dia menyunggingkan seulas senyum kecil di bibirnya. Walau sangat
jelas ada raut kesedihan di wajahnya.
“Kau masih berumur delapan tahun?”
Gadis itu mengangguk.
“Kau punya saudara yang berumur dua belas tahun?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Sepertinya banyak sekali masalah dalam pikiranmu. Kau
harus mengikhlaskan mereka. Insya Allah, mereka meninggal sebagai syuhada.
Hidupmu masih panjang. Mungkin Allah lebih menyayangi mereka.”
“Mengapa hal ini harus terjadi di sini? Mengapa
Allah tidak adil terhadap tanah ini. Kapan Palestina bisa bebas dari kekangan
para zionis kejam itu? Kapan Palestina bisa hidup damai dari para Israel
laknattullah itu? Kapan? Hidup ini sungguh tak adil bagiku dan bagi mereka.
Palestina selalu hidup seperti ini. Selalu gugur sebelum mekar. Mengapa? Apakah
karena mereka benci terhadap agama Allah? Apakah yang mereka inginkan dari bumi
Palestina? Tanahnya? Tanah itu milik Allah. Mengapa Allah tak melindungi tanah
Palestina? Apakah terlalu banyak dosa di sini? Padahal sudah ribuan do’a
terpanjat untuk-Nya. Kapan tanah ini akan damai?” Lirihnya sambil mengeluarkan
air mata perlahan. Yaasir mengelus kepala gadis itu.
“Kau tak boleh berprasangka buruk terhadap Allah.
Allah selalu mengikuti prasangka kita. Apa yang telah dikehendaki-Nya, itulah
yang terbaik.” Nasihatnya.
“Aku tahu. Kau benar. Aku tak boleh berkata seperti
itu.”
“Aku percaya kau gadis yang baik. Aku percaya kelak
nanti kau akan menaburkan kesejahteraan di tanah ini. Aku percaya. Kau harus
percaya.”
“Aku harus menuntut balas. Aku harus meluapkan
dendam ini kepada mereka. Aku tak harus diam. Negeri ini butuh keadilan.”
Ucapnya.
Yaasir terdiam. Perkataan gadis kecil berumur
delapan tahun itu sangat dewasa. Dia tak pernah melihat gadis setegar Nurlaila.
Dia belum pernah mendengar perkataan bijak dari seorang gadis yang sangat
kecil. Sekecil dia.
“Apa cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi seorang Hamas seperti Abi. Dia
adalah Abi terbaik. Dia hebat. Aku ingin membela tanah Palestina. Menjadi
seorang Hamas. Aku ingin melepaskan belenggu Israel di tanah ini. Bagaimana pun
juga! Aku harus melepaskannya. Kita di sini hanya sama seperti ikan di laut
yang tertangkap. Tak bisa berenang bebas lagi.”
“Abimu, sudah meninggal?”
“Aku tak tahu. Dia di penjara mungkin. Jika Israel
bertemu Hamas, pasti mereka akan ditangkap. Dan sepertinya Abiku mungkin
ditangkap.”
“Kau harus bersabar, Nurlaila. Aku tahu ini sulit
bagimu. Apalagi di umurmu yang baru delapan tahun. Aku bisa mengerti bagaimana
perasaanmu. Kau harus tangguh. Allah bersama kita.”
“Aku harus bisa balas dendam pada mereka.”
—
“Nurlaila! Laila!”
Yaasir terus berteriak melihat gadis kecil itu
terus berlari menuju sekawanan tentara zionis itu. Gadis tersebut terus
berjalan tanpa henti dan peduli terhadap Yaasir.
“Nurlaila! Kau bisa tertangkap!”
“Aku tak peduli! Aku harus membunuh mereka! Aku
juga harus menemukan Ayahku!”
“Tapi Laila, itu bahaya! Kau harus kembali!”
“Aku tak peduli!”
Laila terus berlari menjauhi Yaasir. Sementara
Yaasir terhenti ketika melihat Laila berdiri di hadapan para tentara zionis
yang sudah siap siaga untuk menembak Laila jika dia dianggap membahayakan.
“Hey anak kecil! Kau siapa!?” Sahut seseorang.
“Aku tak membawa bom. Aku hanya ingin bertemu
dengan Ayahku. Kemarin aku melihatnya di sini.” Ucap Laila.
Para tentara itu masih bersiap akan menembak Laila.
“Kalian bisa memeriksaku. Aku tak membawa apa-apa.”
Salah satu dari mereka pun berbisik. Sedikit ada
senyum sinis di wajah mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba
mereka menurunkan senjatanya.
“Siapa nama Ayahmu?”
“Badrussalam.” Ucapnya sambil tersenyum.
Salah satu dari zionis itu, yang tak lain bernama
Mascow mengajak Laila.
“Ayo ikut aku!” Ajaknya.
Laila pun mengikutinya dari belakang. Mascow
memegang tangan Laila kecil. Dilihatnya banyak sel-sel berisi orang-orang
Palestina yang telah mereka tangkap. Banyak di antara mereka yang terlihat
tersiksa dan kelaparan. Laila mulai takut ketika melihat mereka semua.
Tiba-tiba dia jadi ingin keluar. Di tengah semua itu, seseorang tiba-tiba
berisyarat padanya untuk segera keluar. Namun sayang, orang itu terlihat oleh
Mascow. Mascow pun langsung memandangnya dan menyuruh seorang pengawal untuk
membawanya. Entah untuk apa.
“Mengapa kau membiarkan dia keluar?”
“Dia akan tahu akibatnya.” Ucap Mascow.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras dari arah
orang tadi dibawa. Laila semakin tak karuan. Dia menjadi takut. Dia takut akan
dipenjarakan.
“Apakah kau akan mengurungku?”
“Tidak. Bukankah aku akan mempertemukanmu dengan
Ayahmu?”
Laila diam. Hatinya masih tak sepenuhnya percaya
pada yang dikatakan Mascow. Dia semakin ketakutan.
“Aku.. aku ingin keluar dari sini.” Ucap Laila
gelagapan.
Mascow langsung memandang keji pada Laila. Laila
menggulung-gulung kecil bajunya.
“Bukankah kau ingin bertemu dengan Ayahmu? Diam di
sini!”
Mascow pun memborgol tangan kanan Laila ke jeruji
besi yang kosong. Hati Laila terus merasa tak nyaman. Mascow pun tersenyum
sinis padanya. Dia melihat sebuah arti dari senyum tersebut. Ya, seperti
menggambarkan kecurangan. Senyum yang penuh kecurigaan.
Tak lama dari itu, Laila melihat Mascow dan seorang
temannya sedang membawa Ayahnya. Terlihat dari wajah Ayahnya, sangat
menggambarkan wajah yang lusuh dan lelah. Kedua tangan Ayahnya diborgol oleh
mereka.
“Abi!” Seru Laila sambil tersenyum bahagia.
Namun sayang, Abinya tak mendengar seruannya itu.
Laila mencoba melepaskan borgolnya. Dia benar-benar ingin memeluk Ayahnya.
“Abi!” Serunya lagi.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
“Lakukan saja di sini! Di sana ada anaknya, biarkan
dia melihatnya.” Ucap Mascow.
“Baik.”
Mascow pun menghampiri Laila masih dengan senyum
sinis. Laila melihat Ayahnya tertunduk pasrah. Salah satu teman Mascow sedang
memasukan peluru ke dalam pistolnya.
“Apa yang akan kau lakukan pada Abiku? Apa?!”
“Kau lihat saja sendiri!” Ucap Mascow masih dengan
senyum sinisnya. Tiba-tiba saja mata Laila hampir keluar dari tempatnya. Dia
melihat Ayahnya hendak ditembak oleh timah panas. Ditembak oleh temannya. Air
mata Laila tak sengaja turun membasahi pipi lusuhnya.
“Abi!” Teriaknya keras.
Ayahnya mendongak. Dia melihat Laila dengan setetes
air mata membasahi pipinya.
“Laila,” Desahnya.
Laila menangis begitu pun Ayahnya. Bibir Laila
bergetaran. Ayahnya menatap sendu Laila.
“Jangan! Jangan tembak Ayahku! Jangan!” Teriak
Laila.
Namun teman Mascow itu sudah siap untuk membidik.
“Sudah Laila. Biarkan saja Ayah.” Ucapnya lembut
sambil tersenyum.
“Tidak! Itu tidak boleh! Lepaskan! Lepaskan aku!”
Tangis Laila.
Dia benar-benar tak kuasa jika akan melihat Ayahnya
sekarang ditembak. Ditembak di depan matanya sendiri.
“Tidak! Abi tak boleh mati. Abi harus di sini.”
Desahnya.
Duaarrr!
“Abi!”
Mata Laila melotot. Mulutnya menganga. Dia
melihatnya, ya. Dia melihat sesuatu bergetar di bibir Ayahnya ketika timah
panas itu menancap tepat di lehernya. Ya, dia mengucapkan “Allahu Akbar”. Dia
melihatnya. Seulas air mata turun deras lagi di pipinya. Dia terduduk dengan
borgol di tangan kanannya. Dia menangis. Dia benar-benar melihat jasad Ayahnya
terkulai lemah di atas lantai yang bau dan kotor. Dia melihat banyak darah
mengalir di lantai itu. Darah segar Ayahnya. Ya. Darah segar Ayahnya.
“Abi! Abi!” Isaknya.
“Tidak! Ini tidak mungkin ini mimpi! Tidak Abiku
tak mungkin meninggal! Tidakkkk!” Jeritnya.
Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia menggigit
keras bibirnya sampai berdarah menahan air matanya. Dia terus menggeleng-geleng.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dia menggoyang-goyangkan borgol di tangannya agar
terlepas. Dia tak kuasa dia tak kuasa.
“Cepat keluar!” Mascow pun melepaskan borgol dan
menyeret Laila keluar. Laila masih meronta-ronta minta dilepaskan dan memeluk jasad
Ayahnya untuk terakhir kali.
“Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku memeluk Abiku!
Tidak!”
Dia melepaskan cepat tangan Mascow. Dia langsung
menyambar jasad Ayahnya yang berlumuran darah. Dia menangis terus sambil
memeluk jasad Ayahnya.
“Abi,” Lirihnya sambil mengusap-ngusap Ayahnya.
Mascow hanya melihat Laila dari kejauhan. Tak
dirasakannya, air matanya meleleh setetes di pipinya.
—
“Bagi mereka, nyawa orang-orang di sekitarku hanya
seperti daun yang jatuh dari rantingnya di musim gugur. Begitu mudah untuk menjatuhkan
mereka. Sehingga jelas sekali, nyawa itu seperti tak ada harganya.” – Laila.
Laila masih memeluk lutut dan membungkam mulut.
Bajunya masih dipenuhi darah Ayahnya. Air matanya berlelehan jatuh membasahi
pipi lusuh. Badannya masih bergetaran tak kuasa menahan segalanya. Yaasir
merasa kasihan padanya. Dia benar-benar merasakan seperti apa yang dirasakan
Laila.
“Sudahlah Laila. Aku tahu kau tak bisa menerima
semua ini. Ayo, kau mandi dulu lalu berwudlu. Kita sholat bersama.”
“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya
sendiri di sini.”
“Sudahlah, kau masih memilikiku di sini. Kau jangan
berputus asa. Kita masih punya harapan untuk menang.”
—
“Hidup adalah perjuangan. Saat kau merasakan pahit
manisnya hidup, banyak rasa yang kita rasakan. Saat kau merasakan getir dan
kejamnya hidup, janganlah berputus asa. Dan saat kau selalu terjatuh dan
terjatuh, bangkitlah. Kapan pun, di mana pun, siapa pun, dan bagaimana pun,
bangkit dan jalanilah hidup. Walau lelah, akan tiba saatnya Tuhan meminta kita
pulang dan kembali dalam pelukan-Nya.” – Yaasir.
Yaasir terdiam sambil meneteskan air mata. Air mata
tulus dan bening. Melihat gadis kecil itu tertidur, sungguh seperti menahan
nafas yang menghembus perdetiknya. Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia sungguh
merasa prihatin melihatnya. Gadis kecil, delapan tahun, ditinggal oleh semua
keluarganya. Dan baru sekarang dia melihat Laila tidur dengan nafas
tersendat-sendat. Dia seperti mengalami gangguan pernafasan.
“Laila, mengapa gadis kecil sepertimu harus seperti
ini? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tentang dirimu. Kau sakit.
Lebih dari sakit yang kurasa. Lebih dari sakit yang mereka rasakan.” Ucap
Yaasir sambil meneteskan air mata.
Dia mengelus-elus kepala Laila pelan. Dia sungguh
tak bisa membiarkan gadis sekecil dia tersiksa seperti ini. Ya, tersiksa di
atas hidup yang kejam.
“Dia memang seperti itu. Ketika dadanya tertembak
timah panas, dia mengalami gangguan pernafasan. Banyak orang bilang, dia
mengalami kanker paru-paru. Dia beruntung masih bisa selamat.” Ucap seseorang
yang duduk di samping Yaasir.
“Assalamualaikum, kau tahu apa yang terjadi pada
anak ini?”
“Ya. Dulu dia tinggal bersebelahan dengan rumahku.
Dia sangat ceria. Dulu dia bukan seperti ini. Mungkin dia trauma. Semenjak
rumahnya roboh, dan Ibu juga Kakaknya meninggal, dia jadi seperti ini. Namun
dia masih bisa tersenyum dan mempunyai harapan untuk bertemu dengan Ayahnya.
Tapi sekarang semuanya sudah pupus mungkin. Walau pun begitu, semangat juangnya
sangat tinggi. Dia adalah satu-satunya anak kecil yang sangat tegar yang pernah
aku temui. Aku tak pernah menemukan gadis seperti dia.”
Yaasir terdiam. Benar, apa yang dikatakan orang itu
adalah benar. Laila adalah gadis yang tegar. Hidupnya memang penuh dengan ujian
dan cobaan. Walau berat, gadis itu masih punya setitik harapan untuk bisa
menjalani hidup. Walau keras, walau kejam dan walau penuh dengan rintangan,
namun dia tak punya rasa untuk berhenti dan berjuang demi tanahnya.
—
“Andaikan aku setegar karang, aku mungkin masih
bisa bertahan walau ombak besar menerjang. Andaikan aku seperti kaktus, mungkin
aku masih bisa tumbuh walau dalam keadaan yang tandus. Andai aku sekuat batu,
bagaimana pun aku di hancurkan, tak akan cepat untuk menjadi hancur. Namun,
diriku hanyalah bagaikan sebutir tanah yang selalu diinjak-injak. Diremehkan.
Dan tak dianggap. Aku selalu bermimpi menjadi air. Air bisa mengalir bebas ke
mana pun dia mau. Dia selalu bersama. Menyatu dengan air-air lainnya. Dan air,
selalu menjadi sumber dari setiap kehidupan.”-Laila.
“Yaasir, kau akan meninggalkanku sendiri di sini?
Aku ingin ikut denganmu. Ayo kita berperang bersama.” Pinta Laila.
Yaasir pun berjongkok di hadapannya.
“Medan perang bahaya, kau tidak boleh ikut
denganku. Jabaliyah aman. Di sana tak aman. Kau tak boleh ikut.”
“Mengapa? Apakah aku akan membiarkanmu tewas di
sana? Aku tak ingin kehilanganmu, Yaasir. Kau satu-satunya orang yang peduli
padaku.”
Yaasir pun tersenyum. Dia melihat ke belakang
Laila. Laila mendongak. Banyak anak kecil seumurannya di sana. Mereka tersenyum
manis pada Laila.
“Di sinilah Laila, kau bisa berteman dengan kami.”
Laila pun mengangguk. Dia merasa khawatir jika
Yaasir harus pergi tanpa dirinya. Namun dia ingat, Allah pasti akan selalu
bersamanya. Juga akan selalu bersama Yaasir.
—
“Marilah menjadi sebatang pohon. Setiap satu daun
gugur, maka akan tumbuh seribu daun setelahnya.”-Laila.
“Mana gadis kecil yang kau sebut Laila itu? Mengapa
kau tak mengajaknya ke sini!” Teriak salah satu tentara zionis itu.
“Aku tak akan membiarkan anak itu tewas di tanganmu,
hay Zionis Laknatullah! Dia tak mudah untuk kau gugurkan begitu saja! Aku tak
akan membiarkannya!”
“Hahaha, apakah kau akan menjadiakan dia istrimu?
Umurmu terpaut sepuluh tahun dengannya! Apakah kau takut untuk tak bisa
menikahinya?”
“Demi Allah, aku rela mati demi dia. Kau bisa
membunuhku sekarang, asalkan berhentilah mengganggu hidupnya. Dia masih
memiliki hidup yang panjang. Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya!”
“Aku di sini!”
Seseorang tiba-tiba saja berucap. Yaasir dan zionis
itu langsung mendongak. Laila sudah berdiri di sana dengan tatapan keji pada
zionis itu.
“Laila kenapa kau di sini?”
“Demi Allah, sampai aku mati aku akan terus membela
tanah ini!” Ucap Laila.
Zionis itu langsung mengarahkan bidikan ke arah
Laila. Laila masih terdiam berdiri di sana. Yaasir langsung mengarahkan
pedangnya ke arah zionis itu. Namun sayang, satu timah panah menelusup tepat di
tangan kanannya.
“Arghhh!” Teriak Yaasir.
“Yaasir!”
Ketika dia hendak berlari menuju Yaasir, bidikan
itu hampir ditembakan kepadanya.
“Mengapa kau tak menembakannya? Tembak saja aku!”
“Jangan!”
Zionis itu pun perlahan menarik dan akan membidik
Laila memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.
“Duaarrrr!”
Suara timah panas menembus dada terdengar begitu
mengguruh. Bercak darah segar sedikit terbecak ke arah Laila. Dia membuka
matanya. Sudah terlihat zionis yang hendak membunuhnya telah terbunuh di
hadapanya. Dia ditembak oleh seseorang. Ya, itu Mascow. Dia telah menembak
golongannya sendiri. Dia telah menembak temannya sendiri. Laila merasa aneh,
tiba-tiba saja Yaasir memeluk Laila. Laila didekapnya erat. Seperti dekapan
perpisahan. Tiba-tiba sebuah peluru menelusup dan masuk lagi ke tangan Yaasir.
Namun ini tangan kirinya. Dan peluru itu…
—
Mascow menatapnya. Ada sebuah air mata yang menetes
di sela-sela tetesan air mata mereka. Dia menepuk-nepuk pundaknya. Kini Mascow
sudah masuk islam. Itu karena Laila waktu itu. Namanya telah dia ubah menjadi
Badrussalam. Ya, Ayahnya Laila. Entah mengapa dia ingin nama itu.
“Sudah Yaasir, ikhlaskan dia. Aku tahu, kau sangat
menyayanginya. Seperti adikmu sendiri.”
“Dia memang adikku. Namun aku selalu lupa untuk
memberitahunya. Kau mungkin tahu orang yang kau tembak, dia adalah pengawal
selku saat itu. Aku sangat menanti kedatangannya. Saat aku bersekolah, aku
ditangkap oleh Israel. Aku dipenjarakan ketika Ummi sedang mengandung Laila.
Aku sangat ingin melihatnya. Dan kini, saat aku sudah bisa melihatnya, dia
malah pergi dariku untuk selamanya.”
“Maafkan aku.” Ucap Mascow.
“Untuk apa?”
“Aku telah menyuruh seseorang untuk menembak
Ayahmu.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya.
Setelah kejadian itu, Laila jadi sering diam. Namun ketika dia tahu aku akan
perang, dia malah begitu bersemangat untuk ikut denganku. Aku benar-benar tak tahu
ada seseorang yang akan menembak kami. Aku juga tak tahu jika peluru itu bisa
menembus lagi ke dalam dada Laila setelah menembus tangan kiriku. Aku tak
tahu.” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Mascow menatap sendu Yaasir. Ternyata seperti
inilah penderitaan mereka. Golongannya telah menghancurkan kedamaian di
Palestina. Entah bagaimana caranya untuk bisa berdamai. Pasti Israel tak mau
melakukannya.
“Aku baru mengerti. Betapa kejamnya golonganku. Aku
tak pernah bisa memikirkan bagaimana penderitaan kalian. Seandainya aku lebih
tahu.”
—
Yaasir masih berdiri di tengah malam. Pandangannya
lurus menatap langit. Setiap hari dia selalu menatap langit Jabaliyah. Dia
selalu menatapnya untuk memeriksa, apakah Nurlaila masih ada di bumi Jabaliyah?
Apakah cahaya malam itu masih bersinar terang di langit sana? Walau pun cahaya
itu telah mati?
Hatinya bisa percaya. Walau pun daun kuat dan tegar
bernama Nurlaila itu sudah gugur dan terjatuh lalu menyatu dengan tanah, namun
dia yakin. Semangat juangnya masih tertanam kuat di ujung akar dan akan
mengalir menuju daun-daun berikutnya untuk menjadi seperti Laila. Walau Laila
hanya tinggal sebatas kenangan.
Di Bawah
Langit Jabaliyah
Di bawah sinar matahari yang teriknya, gadis kecil
itu masih berdiri sambil meneteskan air matanya. Bajunya kotor dan ada sedikit
bercak-bercak darah. Jilbab yang dipakainya tak seluruh menutupi rambutnya.
Mungkin pada bagian poni yang terlihat. Penampilannya sungguh acak-acakan. Air
matanya juga tak henti turun. Dia masih berdiri di ujung siang sampai detik
ini. Tak ada sedikit pun gerakan darinya. Hanya gerakan air mata yang turun dan
membasahi pipinya. Ya. Membasahi pipinya yang kecil, lusuh dan kotor.
Matanya memandang padang pasir yang sangat luas.
Tenda-tenda berdiri lemah di belakangnya. Nafasnya sedikit tersendat.
Orang-orang yang ada di sana sama sekali tak mengerti bagaimana penderitaannya.
Tentu saja. Karena mereka sama-sama menderita. Mungkin. Sebagian.
“Hey gadis kecil! Ayo ke sini! Di sana panas.
Bagaimana kalau tiba-tiba para tentara zionis itu meneyerang!?” Teriak seorang
pria dari sana.
Gadis kecil itu masih terdiam tak bergeming sama
sekali. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika akhirnya akan seperti ini.
“Assalamualaikum.” Ucap seorang pria padanya.
Gadis itu mendongak.
“Waalaikumsalam.”
“Kau sendiri di sini?” Tanya pria tersebut. Gadis
itu diam.
“Adakah orang yang kau kenal di Jabaliyah?”
Gadis itu menggeleng lalu berjalan pergi dari pria
tersebut. Pria itu menatap gadis yang tak tahu siapa itu aneh. Ada apa
dengannya?
Gadis kecil itu berjalan menuju pengungsiannya.
Terdapat banyak orang di sana. dia tak mengenal satu pun dari orang-orang
tersebut. Termasuk pria tadi.
Dia pun mengambil selembar foto. Foto kenangan dari
orang yang amat dicintainya. Orang yang menyayanginya. Dan orang yang bisa
mengerti perasaannya.
“Abi, Ummi, Abdillah, mengapa kalian harus pergi
secepat itu? Tak tahukah bahwa ada seorang gadis kecil yang kesepian di sini?”
Ucapnya sambil meneteskan satu tetes air mata.
Dia menggigit bibirnya. Dia menegadah untuk
mencegah air matanya turun. Dia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana
nasibnya nanti. Dia benar-benar telah kehilangan orang yang benar-benar sangat
dia sayangi. Segalanya kini hanyalah tinggal seberkas kenang.
“Kau kehilangan keluargamu?” Tanya pria tadi.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan foto yang dia
lihat. Dia terlihat kaget ketika pemuda itu datang.
“Kau tidak usah menyembunyikannya. Banyak mereka di
sini yang sama sepertimu. Termasuk aku.”
Pemuda itu duduk di samping gadis kecil. Gadis itu
sedikit bergeser. Dia memeluk lututnya.
“Kau tak usah takut padaku. Aku tak termasuk ke
dalam tentara Israel itu. Namaku Yaasir.” Ucapnya.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. Dia pun menunduk
lagi.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
“Nur. Nurlaila.”
“Cahaya di malam yang gelap? Namamu bagus. Kau
harus seperti namamu.”
Gadis itu mendongak lagi dan menatap pemuda
tersebut. Dia menyunggingkan seulas senyum kecil di bibirnya. Walau sangat
jelas ada raut kesedihan di wajahnya.
“Kau masih berumur delapan tahun?”
Gadis itu mengangguk.
“Kau punya saudara yang berumur dua belas tahun?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Sepertinya banyak sekali masalah dalam pikiranmu. Kau
harus mengikhlaskan mereka. Insya Allah, mereka meninggal sebagai syuhada.
Hidupmu masih panjang. Mungkin Allah lebih menyayangi mereka.”
“Mengapa hal ini harus terjadi di sini? Mengapa
Allah tidak adil terhadap tanah ini. Kapan Palestina bisa bebas dari kekangan
para zionis kejam itu? Kapan Palestina bisa hidup damai dari para Israel
laknattullah itu? Kapan? Hidup ini sungguh tak adil bagiku dan bagi mereka.
Palestina selalu hidup seperti ini. Selalu gugur sebelum mekar. Mengapa? Apakah
karena mereka benci terhadap agama Allah? Apakah yang mereka inginkan dari bumi
Palestina? Tanahnya? Tanah itu milik Allah. Mengapa Allah tak melindungi tanah
Palestina? Apakah terlalu banyak dosa di sini? Padahal sudah ribuan do’a
terpanjat untuk-Nya. Kapan tanah ini akan damai?” Lirihnya sambil mengeluarkan
air mata perlahan. Yaasir mengelus kepala gadis itu.
“Kau tak boleh berprasangka buruk terhadap Allah.
Allah selalu mengikuti prasangka kita. Apa yang telah dikehendaki-Nya, itulah
yang terbaik.” Nasihatnya.
“Aku tahu. Kau benar. Aku tak boleh berkata seperti
itu.”
“Aku percaya kau gadis yang baik. Aku percaya kelak
nanti kau akan menaburkan kesejahteraan di tanah ini. Aku percaya. Kau harus
percaya.”
“Aku harus menuntut balas. Aku harus meluapkan
dendam ini kepada mereka. Aku tak harus diam. Negeri ini butuh keadilan.”
Ucapnya.
Yaasir terdiam. Perkataan gadis kecil berumur
delapan tahun itu sangat dewasa. Dia tak pernah melihat gadis setegar Nurlaila.
Dia belum pernah mendengar perkataan bijak dari seorang gadis yang sangat
kecil. Sekecil dia.
“Apa cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi seorang Hamas seperti Abi. Dia
adalah Abi terbaik. Dia hebat. Aku ingin membela tanah Palestina. Menjadi
seorang Hamas. Aku ingin melepaskan belenggu Israel di tanah ini. Bagaimana pun
juga! Aku harus melepaskannya. Kita di sini hanya sama seperti ikan di laut
yang tertangkap. Tak bisa berenang bebas lagi.”
“Abimu, sudah meninggal?”
“Aku tak tahu. Dia di penjara mungkin. Jika Israel
bertemu Hamas, pasti mereka akan ditangkap. Dan sepertinya Abiku mungkin
ditangkap.”
“Kau harus bersabar, Nurlaila. Aku tahu ini sulit
bagimu. Apalagi di umurmu yang baru delapan tahun. Aku bisa mengerti bagaimana
perasaanmu. Kau harus tangguh. Allah bersama kita.”
“Aku harus bisa balas dendam pada mereka.”
—
“Nurlaila! Laila!”
Yaasir terus berteriak melihat gadis kecil itu
terus berlari menuju sekawanan tentara zionis itu. Gadis tersebut terus
berjalan tanpa henti dan peduli terhadap Yaasir.
“Nurlaila! Kau bisa tertangkap!”
“Aku tak peduli! Aku harus membunuh mereka! Aku
juga harus menemukan Ayahku!”
“Tapi Laila, itu bahaya! Kau harus kembali!”
“Aku tak peduli!”
Laila terus berlari menjauhi Yaasir. Sementara
Yaasir terhenti ketika melihat Laila berdiri di hadapan para tentara zionis
yang sudah siap siaga untuk menembak Laila jika dia dianggap membahayakan.
“Hey anak kecil! Kau siapa!?” Sahut seseorang.
“Aku tak membawa bom. Aku hanya ingin bertemu
dengan Ayahku. Kemarin aku melihatnya di sini.” Ucap Laila.
Para tentara itu masih bersiap akan menembak Laila.
“Kalian bisa memeriksaku. Aku tak membawa apa-apa.”
Salah satu dari mereka pun berbisik. Sedikit ada
senyum sinis di wajah mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba
mereka menurunkan senjatanya.
“Siapa nama Ayahmu?”
“Badrussalam.” Ucapnya sambil tersenyum.
Salah satu dari zionis itu, yang tak lain bernama
Mascow mengajak Laila.
“Ayo ikut aku!” Ajaknya.
Laila pun mengikutinya dari belakang. Mascow
memegang tangan Laila kecil. Dilihatnya banyak sel-sel berisi orang-orang
Palestina yang telah mereka tangkap. Banyak di antara mereka yang terlihat
tersiksa dan kelaparan. Laila mulai takut ketika melihat mereka semua.
Tiba-tiba dia jadi ingin keluar. Di tengah semua itu, seseorang tiba-tiba
berisyarat padanya untuk segera keluar. Namun sayang, orang itu terlihat oleh
Mascow. Mascow pun langsung memandangnya dan menyuruh seorang pengawal untuk
membawanya. Entah untuk apa.
“Mengapa kau membiarkan dia keluar?”
“Dia akan tahu akibatnya.” Ucap Mascow.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras dari arah
orang tadi dibawa. Laila semakin tak karuan. Dia menjadi takut. Dia takut akan
dipenjarakan.
“Apakah kau akan mengurungku?”
“Tidak. Bukankah aku akan mempertemukanmu dengan
Ayahmu?”
Laila diam. Hatinya masih tak sepenuhnya percaya
pada yang dikatakan Mascow. Dia semakin ketakutan.
“Aku.. aku ingin keluar dari sini.” Ucap Laila
gelagapan.
Mascow langsung memandang keji pada Laila. Laila
menggulung-gulung kecil bajunya.
“Bukankah kau ingin bertemu dengan Ayahmu? Diam di
sini!”
Mascow pun memborgol tangan kanan Laila ke jeruji
besi yang kosong. Hati Laila terus merasa tak nyaman. Mascow pun tersenyum
sinis padanya. Dia melihat sebuah arti dari senyum tersebut. Ya, seperti
menggambarkan kecurangan. Senyum yang penuh kecurigaan.
Tak lama dari itu, Laila melihat Mascow dan seorang
temannya sedang membawa Ayahnya. Terlihat dari wajah Ayahnya, sangat
menggambarkan wajah yang lusuh dan lelah. Kedua tangan Ayahnya diborgol oleh
mereka.
“Abi!” Seru Laila sambil tersenyum bahagia.
Namun sayang, Abinya tak mendengar seruannya itu.
Laila mencoba melepaskan borgolnya. Dia benar-benar ingin memeluk Ayahnya.
“Abi!” Serunya lagi.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
“Lakukan saja di sini! Di sana ada anaknya, biarkan
dia melihatnya.” Ucap Mascow.
“Baik.”
Mascow pun menghampiri Laila masih dengan senyum
sinis. Laila melihat Ayahnya tertunduk pasrah. Salah satu teman Mascow sedang
memasukan peluru ke dalam pistolnya.
“Apa yang akan kau lakukan pada Abiku? Apa?!”
“Kau lihat saja sendiri!” Ucap Mascow masih dengan
senyum sinisnya. Tiba-tiba saja mata Laila hampir keluar dari tempatnya. Dia
melihat Ayahnya hendak ditembak oleh timah panas. Ditembak oleh temannya. Air
mata Laila tak sengaja turun membasahi pipi lusuhnya.
“Abi!” Teriaknya keras.
Ayahnya mendongak. Dia melihat Laila dengan setetes
air mata membasahi pipinya.
“Laila,” Desahnya.
Laila menangis begitu pun Ayahnya. Bibir Laila
bergetaran. Ayahnya menatap sendu Laila.
“Jangan! Jangan tembak Ayahku! Jangan!” Teriak
Laila.
Namun teman Mascow itu sudah siap untuk membidik.
“Sudah Laila. Biarkan saja Ayah.” Ucapnya lembut
sambil tersenyum.
“Tidak! Itu tidak boleh! Lepaskan! Lepaskan aku!”
Tangis Laila.
Dia benar-benar tak kuasa jika akan melihat Ayahnya
sekarang ditembak. Ditembak di depan matanya sendiri.
“Tidak! Abi tak boleh mati. Abi harus di sini.”
Desahnya.
Duaarrr!
“Abi!”
Mata Laila melotot. Mulutnya menganga. Dia
melihatnya, ya. Dia melihat sesuatu bergetar di bibir Ayahnya ketika timah
panas itu menancap tepat di lehernya. Ya, dia mengucapkan “Allahu Akbar”. Dia
melihatnya. Seulas air mata turun deras lagi di pipinya. Dia terduduk dengan
borgol di tangan kanannya. Dia menangis. Dia benar-benar melihat jasad Ayahnya
terkulai lemah di atas lantai yang bau dan kotor. Dia melihat banyak darah
mengalir di lantai itu. Darah segar Ayahnya. Ya. Darah segar Ayahnya.
“Abi! Abi!” Isaknya.
“Tidak! Ini tidak mungkin ini mimpi! Tidak Abiku
tak mungkin meninggal! Tidakkkk!” Jeritnya.
Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia menggigit
keras bibirnya sampai berdarah menahan air matanya. Dia terus menggeleng-geleng.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dia menggoyang-goyangkan borgol di tangannya agar
terlepas. Dia tak kuasa dia tak kuasa.
“Cepat keluar!” Mascow pun melepaskan borgol dan
menyeret Laila keluar. Laila masih meronta-ronta minta dilepaskan dan memeluk jasad
Ayahnya untuk terakhir kali.
“Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku memeluk Abiku!
Tidak!”
Dia melepaskan cepat tangan Mascow. Dia langsung
menyambar jasad Ayahnya yang berlumuran darah. Dia menangis terus sambil
memeluk jasad Ayahnya.
“Abi,” Lirihnya sambil mengusap-ngusap Ayahnya.
Mascow hanya melihat Laila dari kejauhan. Tak
dirasakannya, air matanya meleleh setetes di pipinya.
—
“Bagi mereka, nyawa orang-orang di sekitarku hanya
seperti daun yang jatuh dari rantingnya di musim gugur. Begitu mudah untuk menjatuhkan
mereka. Sehingga jelas sekali, nyawa itu seperti tak ada harganya.” – Laila.
Laila masih memeluk lutut dan membungkam mulut.
Bajunya masih dipenuhi darah Ayahnya. Air matanya berlelehan jatuh membasahi
pipi lusuh. Badannya masih bergetaran tak kuasa menahan segalanya. Yaasir
merasa kasihan padanya. Dia benar-benar merasakan seperti apa yang dirasakan
Laila.
“Sudahlah Laila. Aku tahu kau tak bisa menerima
semua ini. Ayo, kau mandi dulu lalu berwudlu. Kita sholat bersama.”
“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya
sendiri di sini.”
“Sudahlah, kau masih memilikiku di sini. Kau jangan
berputus asa. Kita masih punya harapan untuk menang.”
—
“Hidup adalah perjuangan. Saat kau merasakan pahit
manisnya hidup, banyak rasa yang kita rasakan. Saat kau merasakan getir dan
kejamnya hidup, janganlah berputus asa. Dan saat kau selalu terjatuh dan
terjatuh, bangkitlah. Kapan pun, di mana pun, siapa pun, dan bagaimana pun,
bangkit dan jalanilah hidup. Walau lelah, akan tiba saatnya Tuhan meminta kita
pulang dan kembali dalam pelukan-Nya.” – Yaasir.
Yaasir terdiam sambil meneteskan air mata. Air mata
tulus dan bening. Melihat gadis kecil itu tertidur, sungguh seperti menahan
nafas yang menghembus perdetiknya. Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia sungguh
merasa prihatin melihatnya. Gadis kecil, delapan tahun, ditinggal oleh semua
keluarganya. Dan baru sekarang dia melihat Laila tidur dengan nafas
tersendat-sendat. Dia seperti mengalami gangguan pernafasan.
“Laila, mengapa gadis kecil sepertimu harus seperti
ini? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tentang dirimu. Kau sakit.
Lebih dari sakit yang kurasa. Lebih dari sakit yang mereka rasakan.” Ucap
Yaasir sambil meneteskan air mata.
Dia mengelus-elus kepala Laila pelan. Dia sungguh
tak bisa membiarkan gadis sekecil dia tersiksa seperti ini. Ya, tersiksa di
atas hidup yang kejam.
“Dia memang seperti itu. Ketika dadanya tertembak
timah panas, dia mengalami gangguan pernafasan. Banyak orang bilang, dia
mengalami kanker paru-paru. Dia beruntung masih bisa selamat.” Ucap seseorang
yang duduk di samping Yaasir.
“Assalamualaikum, kau tahu apa yang terjadi pada
anak ini?”
“Ya. Dulu dia tinggal bersebelahan dengan rumahku.
Dia sangat ceria. Dulu dia bukan seperti ini. Mungkin dia trauma. Semenjak
rumahnya roboh, dan Ibu juga Kakaknya meninggal, dia jadi seperti ini. Namun
dia masih bisa tersenyum dan mempunyai harapan untuk bertemu dengan Ayahnya.
Tapi sekarang semuanya sudah pupus mungkin. Walau pun begitu, semangat juangnya
sangat tinggi. Dia adalah satu-satunya anak kecil yang sangat tegar yang pernah
aku temui. Aku tak pernah menemukan gadis seperti dia.”
Yaasir terdiam. Benar, apa yang dikatakan orang itu
adalah benar. Laila adalah gadis yang tegar. Hidupnya memang penuh dengan ujian
dan cobaan. Walau berat, gadis itu masih punya setitik harapan untuk bisa
menjalani hidup. Walau keras, walau kejam dan walau penuh dengan rintangan,
namun dia tak punya rasa untuk berhenti dan berjuang demi tanahnya.
—
“Andaikan aku setegar karang, aku mungkin masih
bisa bertahan walau ombak besar menerjang. Andaikan aku seperti kaktus, mungkin
aku masih bisa tumbuh walau dalam keadaan yang tandus. Andai aku sekuat batu,
bagaimana pun aku di hancurkan, tak akan cepat untuk menjadi hancur. Namun,
diriku hanyalah bagaikan sebutir tanah yang selalu diinjak-injak. Diremehkan.
Dan tak dianggap. Aku selalu bermimpi menjadi air. Air bisa mengalir bebas ke
mana pun dia mau. Dia selalu bersama. Menyatu dengan air-air lainnya. Dan air,
selalu menjadi sumber dari setiap kehidupan.”-Laila.
“Yaasir, kau akan meninggalkanku sendiri di sini?
Aku ingin ikut denganmu. Ayo kita berperang bersama.” Pinta Laila.
Yaasir pun berjongkok di hadapannya.
“Medan perang bahaya, kau tidak boleh ikut
denganku. Jabaliyah aman. Di sana tak aman. Kau tak boleh ikut.”
“Mengapa? Apakah aku akan membiarkanmu tewas di
sana? Aku tak ingin kehilanganmu, Yaasir. Kau satu-satunya orang yang peduli
padaku.”
Yaasir pun tersenyum. Dia melihat ke belakang
Laila. Laila mendongak. Banyak anak kecil seumurannya di sana. Mereka tersenyum
manis pada Laila.
“Di sinilah Laila, kau bisa berteman dengan kami.”
Laila pun mengangguk. Dia merasa khawatir jika
Yaasir harus pergi tanpa dirinya. Namun dia ingat, Allah pasti akan selalu
bersamanya. Juga akan selalu bersama Yaasir.
—
“Marilah menjadi sebatang pohon. Setiap satu daun
gugur, maka akan tumbuh seribu daun setelahnya.”-Laila.
“Mana gadis kecil yang kau sebut Laila itu? Mengapa
kau tak mengajaknya ke sini!” Teriak salah satu tentara zionis itu.
“Aku tak akan membiarkan anak itu tewas di tanganmu,
hay Zionis Laknatullah! Dia tak mudah untuk kau gugurkan begitu saja! Aku tak
akan membiarkannya!”
“Hahaha, apakah kau akan menjadiakan dia istrimu?
Umurmu terpaut sepuluh tahun dengannya! Apakah kau takut untuk tak bisa
menikahinya?”
“Demi Allah, aku rela mati demi dia. Kau bisa
membunuhku sekarang, asalkan berhentilah mengganggu hidupnya. Dia masih
memiliki hidup yang panjang. Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya!”
“Aku di sini!”
Seseorang tiba-tiba saja berucap. Yaasir dan zionis
itu langsung mendongak. Laila sudah berdiri di sana dengan tatapan keji pada
zionis itu.
“Laila kenapa kau di sini?”
“Demi Allah, sampai aku mati aku akan terus membela
tanah ini!” Ucap Laila.
Zionis itu langsung mengarahkan bidikan ke arah
Laila. Laila masih terdiam berdiri di sana. Yaasir langsung mengarahkan
pedangnya ke arah zionis itu. Namun sayang, satu timah panah menelusup tepat di
tangan kanannya.
“Arghhh!” Teriak Yaasir.
“Yaasir!”
Ketika dia hendak berlari menuju Yaasir, bidikan
itu hampir ditembakan kepadanya.
“Mengapa kau tak menembakannya? Tembak saja aku!”
“Jangan!”
Zionis itu pun perlahan menarik dan akan membidik
Laila memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.
“Duaarrrr!”
Suara timah panas menembus dada terdengar begitu
mengguruh. Bercak darah segar sedikit terbecak ke arah Laila. Dia membuka
matanya. Sudah terlihat zionis yang hendak membunuhnya telah terbunuh di
hadapanya. Dia ditembak oleh seseorang. Ya, itu Mascow. Dia telah menembak
golongannya sendiri. Dia telah menembak temannya sendiri. Laila merasa aneh,
tiba-tiba saja Yaasir memeluk Laila. Laila didekapnya erat. Seperti dekapan
perpisahan. Tiba-tiba sebuah peluru menelusup dan masuk lagi ke tangan Yaasir.
Namun ini tangan kirinya. Dan peluru itu…
—
Mascow menatapnya. Ada sebuah air mata yang menetes
di sela-sela tetesan air mata mereka. Dia menepuk-nepuk pundaknya. Kini Mascow
sudah masuk islam. Itu karena Laila waktu itu. Namanya telah dia ubah menjadi
Badrussalam. Ya, Ayahnya Laila. Entah mengapa dia ingin nama itu.
“Sudah Yaasir, ikhlaskan dia. Aku tahu, kau sangat
menyayanginya. Seperti adikmu sendiri.”
“Dia memang adikku. Namun aku selalu lupa untuk
memberitahunya. Kau mungkin tahu orang yang kau tembak, dia adalah pengawal
selku saat itu. Aku sangat menanti kedatangannya. Saat aku bersekolah, aku
ditangkap oleh Israel. Aku dipenjarakan ketika Ummi sedang mengandung Laila.
Aku sangat ingin melihatnya. Dan kini, saat aku sudah bisa melihatnya, dia
malah pergi dariku untuk selamanya.”
“Maafkan aku.” Ucap Mascow.
“Untuk apa?”
“Aku telah menyuruh seseorang untuk menembak
Ayahmu.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya.
Setelah kejadian itu, Laila jadi sering diam. Namun ketika dia tahu aku akan
perang, dia malah begitu bersemangat untuk ikut denganku. Aku benar-benar tak tahu
ada seseorang yang akan menembak kami. Aku juga tak tahu jika peluru itu bisa
menembus lagi ke dalam dada Laila setelah menembus tangan kiriku. Aku tak
tahu.” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Mascow menatap sendu Yaasir. Ternyata seperti
inilah penderitaan mereka. Golongannya telah menghancurkan kedamaian di
Palestina. Entah bagaimana caranya untuk bisa berdamai. Pasti Israel tak mau
melakukannya.
“Aku baru mengerti. Betapa kejamnya golonganku. Aku
tak pernah bisa memikirkan bagaimana penderitaan kalian. Seandainya aku lebih
tahu.”
—
Yaasir masih berdiri di tengah malam. Pandangannya
lurus menatap langit. Setiap hari dia selalu menatap langit Jabaliyah. Dia
selalu menatapnya untuk memeriksa, apakah Nurlaila masih ada di bumi Jabaliyah?
Apakah cahaya malam itu masih bersinar terang di langit sana? Walau pun cahaya
itu telah mati?
Hatinya bisa percaya. Walau pun daun kuat dan tegar
bernama Nurlaila itu sudah gugur dan terjatuh lalu menyatu dengan tanah, namun
dia yakin. Semangat juangnya masih tertanam kuat di ujung akar dan akan
mengalir menuju daun-daun berikutnya untuk menjadi seperti Laila. Walau Laila
hanya tinggal sebatas kenangan.
lomba ini diikutsertakan dalam http://lomenulis.com/post/56338589530/lomba-menulis-motivasi-pemuda-cinta-by-cyber-dakwah