Kuberitahu,
namanya Zain. Aku.. adalah pemuja rahasianya. Bukan sejak lima tahun sejak batu
pertama ditancapkan sebelum berdiri utuhnya Cafe ini. Lebih lama dari itu.
Nanti tanpa diminta aku pasti dengan sukarela mengotomatiskan pikiranku untuk
bercerita. Tentang dia. Tidak terlalu penting. Yang penting sekarang adalah
bahwa aku telah mengaku aku mencintainya sekalipun hanya dari sudut Cafe ini
setiap hari Rabu.
Dari
balik kaca jendela Cafe di meja nomor 6 ini, dengan jelas aku dapat melihat
langkah tegasya menuju parkiran khusus miliknya yang diberi tanda ”Parkir
Khusus Pemilik Cafe”. Papan itu berdiri gagah tepat di depan mobil jagoar hitam
miliknya. Sama seperti pemiliknya, siapapun tahu bahwa mobil itu terawat dengan
baik, mengkilap tanpa goresan sedikitpun. Tatapan para wanita yang sebagian
besar singgah sepulang kantor tertuju pada satu fokus yang menyiratkan tatapan kagum
dan terpesona. Sama seperti tatapanku. Tatapan candu pada pria pemilik Cafe
itu. Zain. Kemeja abu-abu yang dipakai Zain sudah lebih cukup menunjang
pesonanya. Lengan kemeja yang panjang digulung sampai siku. Kurang maskulin
apa? Para wanita yang akan berjalan berpapasan dengan Zain terhenti sebentar
dan berbisik dengan teman disampingnya. Zain tak peduli. Aku sudah tahu itu.
Sejak dulu aku mengikrarkan diri menjadi pengagum rahasia yang setia pun, dia
tak pernah peduli dengan gadis yang menatap bahkan meneriakinya. Meneriaki
layaknya bintang yang sedang bersinar.
Di
masa lalu, semua orang bisa mengira, pesonanya sama memukaunya. Dia bintang
lapangan. Pemain basket pujaan hati wanita. Aku, sebagi penggemarnya nomor
satu, tak sekalipun melewatkan pertandingannya. Masih sama seperti saat ini,
setia memojok di sudut jarak pandang setiap orang. Aku tak pernah peduli bahwa
tak ada yang peduli. Sama seperti Zain yang tidak peduli pada tatapan para
gadis di sekitarnya. Kalau memang harus jujur, aku senang dia tak peduli, tak
pernah peduli.
Aku
menopangkan dagu ketika melihat mobil Jaguar hitam miliknya memudar menjauh
dari pandangan. Bukan kali ini saja, aku selalu mampu menunggingkan para wanita
yang berbisik tadi kecewa Zain tak menyadari kehadiran mereka. Aku tersenyum.
Merasa menang dan tenang bahwa idola nomor satu itu masih sama seperti dulu.
Apa yang dia pedulikan? Apa yang mampu mengarahkan pandangannya?
”Ibu,
ini minumannya. Selamat menikmati”. Suara ramah seorang pramusaji mampu
membuyarkan lamunanku dan membuatku cukup terperanjak karena kaget. Strawberry
milkshake pesananku sudah datang. Tepat berada di sudut 180° dari pusat
pandanganku. Imaji kesegaran segera menghampiriku. Terbayang nikmatnya minuman
yang bahkan belum sempat aku sentuh ini. Tak perlu kusentuh pun, aku sudah
hapal diluar kepala. Ini menu minuman favoritku.
”Terima
kasih” ujarku singkat sambil melayangkan sekilas senyum pada gadis pramusaji
itu.
”ada
lagi yang bisa saya bantu Bu?” tawarnya ramah.
”Oh
tidak. Nanti kalau memang ada yang ingin saya pesan lagi, akan saya panggil.
Terima kasih.” ulangku lagi.
”Selamat
menikmati Bu.” ucapnya mengakhiri pelayanan singkat ini. Pramusaji itu berlalu.
Aku
menyeruput Strawberry milkshake-ku. Seperti dugaanku, segarnya mengalir
melewati kerongkongan. Ada cerita dibalik minuman ini. Mau tak mau untuk
kesekian kalinya, pikiranku kembali melayang ke masa tujuh tahun yang lalu.
Saat aku masih resmi menyandang status mahasiswa tingkat akhir jurusan Sastra
Inggris di Universitas Gajah Mada, sebuah perguruan kebanggaan masyarakat
Yogyakarta. Saat itu, aku duduk sendirian di perpustakaan pusat sibuk menjamah
halaman demi halaman buku sumber yang kujadikan acuan dalam skripsiku.
Perpustakaan sepi. Langkah kaki terdengar menaiki tangga, langkah kaki yang
berat. Bangku berdecit saat digeser dan sesosok tubuh menghempaskan diri pada
bangku kayu itu. Tepat berada pada jarak dua meja di depanku. Itu dia. Si idola
nomor satu. Tak perlu kupandang dengan jelas, cukup dari sudut mataku aku bisa
mengenali dengan jelas sosok familiar itu. Bahkan jika tidak berlebihan, dari
bayangannya saja, aku sudah tahu itu dia. Jangan ditanya apa rasanya berada
dalam jarak dekat dengan sosok itu. Jikalau bisa, aku sudah mencopot sejenak
jantungku keluar dari tubuhku karena debaran yang sangat keras dengan ritme
tidak teratur karena itu cukup membuatku lelah walau hanya satu menit saja.
Kucoba
menenangkan diri. ”Khansa, Khansa. Tetaplah
waras. Bahkan dia tidak akan peduli dengan kehadiranmu.” Begitu kata otakku
saat itu. Aku masih bersikap sangat tenang dari luar padahal disaat yang
bersamaan organ jantungku yang bekerja diluar kesadaran itu sudah bekerja jauh
melenceng dari fungsi fisiologinya. Aku seperti mendadak terserang takikardi
karena detak jantung yang mendadak berdebar cepat ini saat kusadari
kehadirannya disitu dengan santainya. Aku berdebar namun sangat menikmati
kesempatan langka yang belum tentu akan terjadi lagi itu. Masih dari sudut mata
yang sebisa mungkin kuusahakan tidak disadari itu, aku melihat dia diam-diam mengeluarkan
sesuatu dari tas kecilnya yang sedari tadi berusaha ia jaga seperti menjaga
barang yang berharga. Saking penasaran dengan tindakan apa yang ia lakukan, aku
melihatnya tersenyum jahil untuk pertama kali sejak aku berikrar menjadi
pengagum rahasianya yang nomor satu. Segelas plastik strawberry milkshake.
Wajahnya
begitu gembira menatap minuman itu utuh. Aku tidak mampu lagi menahan senyumku
dan mengacuhkan setumpuk buku yang ada dihadapanku ketika kulihat dengan wajah
bahagia dia menyeruput minuman itu. Dia tidak berhenti menyeruput minuman itu
dengan sedotan seakan telah menahan dahaga selama seminggu. Sebagai pemuja
rahasia nomor satu, aku merasa beruntung. Aku tahu satu rahasia tentang dia.
Dan mungkin itu adalah rahasia besar. Juga, satu lagi alasan lagi untuk semakin
menyukainya.
“aduh
aduh aduh. ampun pak, sakit pak...”sebuah teriakan kecil terdengar. Kali ini
aku tidak malu-malu untuk mengarahkan pandangan tepat lurus ke depan saat
mendengar suara gaduh itu. Aku spontan tertawa ketika kulihat Pak Yadi, penjaga
perpustakaan, sedang menjewer telinga kanan Zain.
“saya
kan sudah bilang, jangan diam-diam bawa minuman kesini. Kamu bandel banget sih
dibilangin berkali-kali.” omelan Pak Yadi terdengar ke seluruh ruangan sepi
itu. Satu hal lagi yang kini aku tahu, walau aku jarang ke perpustakaan. Aku
jadi tahu bahwa Zain sering membawa Strawberry Milkshake secara diam-diam dan
meminumnya di perpustakaan sampai ketahuan.
Aku
tersentak drau nostalgiaku ketika tanganku yang sedari tadi menyentuh dasar
gelas basah akibat tetesan air yang mengalir dari dinding gelas yang dingin
mengenai punggung tanganku. Ah, duniaku berotasi hanya pada satu poros yang
selalu sama. Zain. Kagumku tujuh tahun adalah waktu minimal aku menghabiskan
waktu untuk menjadi pemuja rahasianya yang paling setia. Aku tidak ingat berapa
lama tepatnya tapi sudah pasti tujuh tahun ini adalah waktu yang kuhabiskan
untuk satu nama saja. Puji aku untuk kesetiaanku sekalipun aku tahu dia tak
tahu. Aku kan memang hanya pemuja rahasianya.
Semua
rasa bisa datang tapi juga bisa pergi pada pengagum rahasia yang lain. Tapi
tidak buatku. Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk membuktikannya. Aku
melirik jam tangan hitamku. Nyaris satu jam penuh aku duduk disini. Sibuk
dengan kegiatan yang sama dan kebiasaan yang sama setiap minggunya di hari
Rabu. Hari dimana dengan jelas aku bisa mengingat dengan rinci setiap detail
memori di perpustakaan itu. Hari Rabu ini adalah tepat tujuh tahun sejak hari
itu. Aku menamainya, The Milkshake Day. Inilah caraku melakukan selebrasinya.
Mobil
Jaguar Hitam yang sejak sejam yang lalu menghilang sudah rapi kembali terparkir
di tempat parkiran khusus itu. Dia yang berkemeja abu-abu turun dari mobil.
Gagah seperti hari-hari sebelumnya, berjalan ke sisi mobil lainnya dan
membukakan pintu mobil. Seorang gadis turun dari pintu mobil itu dengan
hati-hati. Aku mengamati dengan seksama tanpa kedipan mata. Zain tersenyum pada
gadis itu dan menggandeng tangan gadis berseragam abu-abu itu. Warna yang sama
dengan kemeja Zain. Zain tampak bahagia sekali bersama dengan gadis itu. Mereka
berjalan masuk berdampingan dalam genggaman tangan yang erat. Aku dapat melihat
dengan jelas. Posisiku saat ini adalah posisi yang sangat strategis karena
berjarak beberapa meter garis lurus dari pintu masuk Cafe. Tangan kanan Zain
menggenggam erat tangan gadis itu sementara tangannya yang lain disimpan
dibalik punggungnya. Gadis itu melepas genggaman Zain dan mulai melangkah cepat
lurus menuju ke arahku. Aku melayangkan senyuman yang paling manis yang aku
bisa. Gadis itu mempercepat langkahnya.
”Bundaaaaaa....”
Gadis itu menghambur kepelukanku. Gadis cilik berumur enam tahun yang baru saja
pulang dari kursus biolanya ini langsung melayangkan kecupan di pipiku. Dindi
namanya. Dengan segala kelincahan yang ia punya, Dindi langsung duduk di
pangkuanku.
:”Aduh
sayang Bunda udah pulang. Capek nak?” Aku mengusap kepalanya dan menyapu poni
yang menutup keningnya. Dindi menggeleng.
”Udah
enggak habis ketemu Bunda. Hehehe..” ucapnya polos. Aku mencium gemas pipinya.
”sayang, this is for
you..” Sebuah tangan terasa hangat merangkul bahuku dan disaat yang bersamaan
sebuket bunga lili putih terhampar di hadapanku. Bunga favoritku. Zain selalu
ingat. Walau memberikan sebuket bunga lili di setiap hari Rabu sore adalah
suatu kebiasaan baginya sama seperti kebiasaanku duduk di bangku yang sama,
tapi ini tak menjadi alasan untuk sebuah kejenuhan. Aku meraih bunga iyu dan
tersenyum ke arahnya. Zain balas tersenyum hangat. Dan satu lagi rahasia.
Senyum ini adalah senyum yang hanya kutemukan saat ia menatapku dan putri cilik
kami, Dindi.
“Kamu selalu tau
kesukaanku. Jangan-jangan kamu secret admirerku ya sayang..” ucapnya dan
langsung menyambar Strawberry milkshake pesananku. Aku mencubit lengannya dan
sebuah kecupan melayang dengan lembutnya di keningku.
0 comments:
Posting Komentar