SEBUAH KISAH MENYENTUH, "AKU INGIN BERJILBAB SEPERTI KAKAK
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Ada segores pedih saat ku ukir namamu dik…, Perih. Seakan ribuan belati
menusuk ke hati, meninggalkan gumpalan sedih di lubang rasaku..
Penyesalan yang tak berujung, yang membuatku merutuki diri ini yang
begitu ego diri. Allah …, Ampuni aku .. Adik, maafkan kakak ….
Aku mengenalmu pertama kali ketika kami
masih berpakaian putih abu-abu, dan berlanjurt di tingkat kuliah. Aku
masih teringat sinar matamu saat aku memasuki kelasmu, dan kamu mengajak
kami dan teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian di sela waktu luang
dalam sebuah majlis ilmu. Kajian jum’at, yang rutin ku jalankan bersama
teman-teman akhwatku di rohis.
Sayangnya, sepertinya
teman-temanmu tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan
waktunya dengan bergosip dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu
berbeda. Kamu terlihat istimewa. Kamu datang, dengan wajah penuh riang.
Dik, sampai sekarang aku masih ingat senyuman yang tak penah lepas dari
wajahmu.
Senyuman yang dapat menghilangkan segala penat dan
lelahku karena tugas-tugas yang menumpuk, program kerja di rohis yang
begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan yang begitu melelahkan. Tapi
kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan kami kakak-kakakmu
untuk tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.
Kamu
semakin dekat pada kami, kamu begitu mudah menyerap segala pengetahuan
yang kami berikan kepadamu. Kamu cerdas dik. Mungkin karena belajar
dengan hati, kamu begitu mudah menerima kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu
begitu lembut dengan kebenaran… Allahu akbar, aku malu dik saat
menyadari betapa banyak kesombongan di hati ini, tak seperti kau yang
sangat bersahaja.
Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda
dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu,
bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan
kepada kami.
Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki
adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku
rasa dulu, setiap di sela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa
coklat untukku, dan berbisik padaku:
“Kak, jangan bilang sama
kak iva yah, aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan wajah penuh
rahasia. Aku tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah licik. Ha
ha ha ( mb.iva mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu ini.
Tapi ternyata aku salah, kau melakukan hal yang sama pada mb.iva juga.
Kami tertipu, tetapi kami tetap senang. Begitulah caramu membuat kami
merasa begitu kamu cintai. Allah, begitu banyaknya dia mengajari
kami.Hari itu kamu mendatangiku, dengan wajah penuh semangat lebih dari
biasanya. Kamu bertanya kepadaku:
“Kak, aku mau kayak kakak.
Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar ! aku menyambut dengan
begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta
akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau
memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah,
bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika
aku pergi bersamamu pada hari itu.
Beberapa hari kemudian kamu
datang dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang dengan
perubahanmu, bahkan mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini
ragu dengan pilihanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah
sebaik-baik penolong. Tak ka nada yang bisa menyakitimu dalam
lindungan-Nya. Kamu menangis.
Kemudian aku mengajakmu ke
mushola. Kita shalat dhuha, dan selesai shalat kamu berkata mantap, “Aku
mantap untuk memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau penguasa
hati makhluk-Mu…
Keesokan harinya, kamu dengan jilbab lebarmu,
dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku memeluk dan menciummu dengan
penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang besemu merah, semua akhwat
memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti, semoga kamu
terjaga dalam busana syar’i ini.
Kamu pun smakin dekat padaku,
sangat perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku kamu tak datang
menjengukku setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau dalam
kondisi sangat lelah.. Dik, kakak sangat bangga padamu.. Kamu semakin
aktif, semua amanah yang diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh
semangat. Bahkan, rasanya tanpa kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat
sayang padamu dik.
Tak terasa 2 tahun kebersamaan kita…. Aku
lulus, dan harus meninggalkan kampus kita tercinta, meninggalkan rohis
MPM KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah Kerukunan Remaja Mushallah
Aliyah) yang kami rintis dari awal dengan penuh perjuangan,
akhwat-akhwatku, adik-adik mentorku, perjuangan kami. Aku harus
meninggalkan mereka semua.
Termasuk kamu dik. Kamu menangis,
kamu meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah, kami berjanji akan
lebih sering mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu dan yang
lain. Tapi, ternyata….
Semua hanya janji, kami masuk dalam
lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk, terlebih aku mengambil
fakultas paling sibuk di antara semua fakultas yang ada… Aku tak
menepati janji, aku ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…
Aku
melupakanmu, aku mulai sibuk di lembaga dakwah kampusku, yang juga
meminta perhatian yang sangat besar. Kuliah-kuliahku, lab-labku yang
membuatku tak punya waktu untuk yang lain, termasuk padamu. Aku mulai
melupakanmu, tapi kamu sering sekali menelponku.
Yah…telpon-telponmu dik.. .Allah, jika mengingat ini, sungguh
penyesalanku seakan tak ada habisnya. Kamu begitu sering menelponku,
menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang keluargamu yang semakin
menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu, tentang tidak
adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.
Bahkan terkadang, kamu meneleponku sampai dua jam. Dan aku yang begitu
egois, mulai bosan dengan semua keluhanmu. Aku yang terkadang begitu
lelah dengan rutinitasku, yang hanya mencuri waktu untuk istirahat, juga
harus terganggu dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…, aku mulai
menghindarimu, tak ku jawab telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun tidak
marah. Ya Allah…
Suatu hari, kamu datang ke rumah dengan wajah
letih, tak ku temukan keceriaan itu lagi. Ada yang aneh pada dirimu
dik, aku sangat terkejut melihatnya…
Wajahmu yang dulu penuh
semangat dan selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya mampu
mengobarkan semangat orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda,
wajahmu begitu pucat, loyo, tanpa semangat hidup seperti dulu.
Tubuhmu dik…, Allah… ada apa dengan dirimu dik ? dulu kamu begitu gemuk
menggemaskan, dengan pipi tembem yang sangat lucu hingga matamu yang
sipit akan semakin kecil saat dirimu tersenyum.
Dulu kami
(akhwat-akwhat) di rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan
membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk…
tapi kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? ini memang
pertemuan pertama kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya
berkomunikasi melalu telepon..
Dulu setiap kali kita berkumpul
kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus
berceloteh tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku selalu menjadi
pendengar setiamu… tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung tanpa
berkata apa-apa….
Saat ku tanya kamu dari mana ? kamu hanya
menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya kebetulan lewat setelah pulang
tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik, tahukah kau, betapa
banyak yang ingin ku tanyakan kepadamu? tapi aku tak ingin menambah
penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Jadi ku biarkan saja
kamu dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku menatap wajahmu
yang teduh dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?
Lalu kamu pun pamit, pergi tanpa sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….
Aku kembali dalam duniaku, Kuliahku, labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya
Rabb, aku kembali melupakanmu dik, hingga kemudian aku menerima sebuah
telepon dari temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1 minggu dia tidak masuk
sekolah, kayaknya parah, kalau bisa kakak sempatkan waktu untuk
menjenguknya, dia selalu menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang lain.”
aku tercenung di ujung telepon, tak tahu harus berbuat apa..
Saat aku dan akhwat-akhwat lain tiba di rumahmu, segera kami ke kamarmu,
kamar sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku baru kali ini ke rumahmu
dik. Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak memperhatikan saudaraku
yang memberiku parhatian luar biasa selama ini.
Hatiku perih
melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang
berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar,
dadaku sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..
Aku mendekatimu, kamu berusaha tersenyum tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan sakit. Aku mencoba menahan perasaanku.
Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat yang lain pun melakukan yang
sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu, ku raih dan ku genggam
tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai cerita lucu,
kamu tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini. Di
lubuk hati terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau
ingin menahanku, maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih
lama dalam kesakitanmu…
Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa
kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan kembali ku temukan jawaban yang
menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping, kau menderita
kanker kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya biaya, kamu
hanya di bawa ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di
keluarkan karena tak punya biaya…
Rabbana, apa gunaku selama
ini, inikah ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini? inikah ikatan
persaudaraan bagai satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam setiap
majelis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang aku serukan?
Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu dik… Saat itu segera aku
bertanya krpada kakakku, dan katanya aku harus mengambil surat
keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat secara
gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti
kembali…
Aku kembali menjengukmu dik bersama hilda dan uphi
serta beberapa akhwat lain. Aku belum berhasil menyelesaikan urusan
surat miskin itu, ternyata harus dengan berbagai macam prosedur, tapi
aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin memburuk.
Aku
memelukmu dan dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?” kamu
tersenyum.. Aku terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa
melihatku ? kamu tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya
di kencengin yah, aku sudah tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”
Tubuhku bergetar, aku tahu wajahku pucat pasi saat itu, aku pun tak
bisa membendung tumpahnya air mataku, aku menangis. Para akhwat
menarikku menjauh darimu. Dalam pelukan akwat, aku tumpahkan segala
rasaku, sedihku, penyesalanku, dan ketakutanku … aku takut kau tak mampu
bertahan dik… sungguh aku sangat takut kehilanganmu.
Tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri, tak lama kemudian kamu siuman lagi, begitu seterusnya…
Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku
raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari
belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu
saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku
menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak
mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis,
apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah
melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?
Aku mendekatkan
bibirku ke telingamu, aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau
tidak. Aku bisikkan kalimatullah. Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa
Ilaaha illallaah…laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku
mendengarmu berkata “Allah…Allah..” Rabbana inikah sakaratul maut…
sesakit inikah…??? Ya Rabbal izzati… Allahummagfirlahu, Allahummarhamhu…
Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat subuh, yang
kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku
berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan
selesai hari ini, aku sangat bersemangat.
Kamu akan segera di
rawat dik. Saat baru saja aku hendak mandi, telepon berbunyi, ternyata
dari ukhti Uni, mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku
mau, tapi aku salah, berita yang aku terima sungguh sangat membuatku
terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi wa innailaihi Rojiun”
Aku tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu ngomong apa sih ? ada apa ?
ngomongnya jangan nangis gitu dong…?” kataku mencoba menenangkan diri .
“Diana ukh, dia sudah nggak ada, dia meninggal tadi malam jam 01.00,
kita doakan yah.. nanti kita sama-sama melayat ke rumahnya” Rabbana… aku
terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di
tenggorokanku yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang
terus memanggilku dan terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk..
menangis.. aku tumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku,
ketakpedulianku, keegoisanku…
Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku terus menangis…
Baru saja jenazahmu di bawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan
diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat mencintaimu,
dia yang merawatmu selama kamu sakit. Dik, begitu banyak orang yang
datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu.. .aku hanya bisa
diam menatap iringan membawamu ke tempat pembaringanmu meninggalkan
kami…
Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu, tak
akan ada lagi telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan hingga kini ku
rindukan dan selalu ku nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas
kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat kejutan rasa cintamu pada kami…
Tak ada lagi cerita-ceritamu tentang masalah-masalahmu yang kini dan
hingga kini selalu ku nantikan dan ku tahu hanya berbalas kecewa.
Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana, semoga kau dapat menahan
himpitan kubur yang kita semua akan merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah
kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu, jauhkanlah dia dari adzab kubur…
Bukakanlah pintu jannah-Mu, sungguh dia adalah mujahidah-Mu, dia adalah
tentara yang memperjuangkan agama-Mu..
Ku tahu saat ini begitu
banyak dari kami menangisi kepergianmu mujahidah, namun aku pun yakin,
ribuan penduduk langit bersorak menyambut kedatanganmu dan ribuan
malaikat menaungimu dalam hamparan sayapnya… dalam kedamaian di sisi
Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..
“Kak, apa aku juga bisa disebut mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…
“Tentu saja dik, setiap orang yang memperjuangkan agama Allah dan mati
dalam keyakinan pada-Nya adalah seorang mujahid-mujahidah.” …
“Kak, aku mau berjilbab lebar seperti kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?” …katamu tersenyum malu…
“Kau akan sangat cantik dengan busana syar’i dik, masih adakah yang lebih penting dari kecantikan di mata Allah…?”
….Kau tertawa…
“Aku mauuuuu cantiiik di mata Allah…” …Tertawa riang….
Selasa, 02 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar